
ACT benar-benar dihabisi. Rupanya semua orang merasa tertipu dengan asumsi dan penilaian standar mereka tentang bagaimana sebuah yayasan atau lembaga sosial beroperasi. Kita selama ini memang berpikir bahwa sebuah yayasan yang bergerak untuk membantu kaum dhuafa ya pengurusnya setidaknya hidup dengan standar yang tidak jauh-jauh dari kaum yang dibantunya. Ya nggak usah jadi dhuafa juga tapi mbok ya jangan bermewah-mewahan, apalagi kalau bermewah-mewahan dengan menggunakan dana sumbangan umat yang dimanipulasi rasa sosial dan empatinya untuk menyumbang. Kalau ada biaya operasional atau honor mbok ya mikirlah bahwa dana itu datangnya dari umat yang ekonominya juga tidak jauh dari yang disumbang. Lha wong yang nyumbang itu umat Islam yang kondisi ekonominya juga tidak kaya-kaya amat tapi ingin berbagai dengan mereka yang lebih miskin darinya. Lha kok uang mereka dipakai untuk berfoya-foya beristri tiga. Ya marahlah mereka. Kira-kira sama dengan marahnya seorang jomblo yang diminta berpuasa untuk menahan syahwatnya karena belum mampu berumah tangga tapi kyainya sendiri ngembat santriwatinya tanpa kira-kira.
Tapi saya juga bisa mengerti jika ada yang membela ACT. Beberapa pembelaannya juga masuk akal.
“Kalau yang salah pengurusnya ya mbok pengurusnya saja yang ditindak. Tikusnya yang ditangkap jangan gudangnya yang dibakar.”
Lha piye kalau pengurusnya serupa tikus semua? Mbok pikir tikusnya cuma satu ya? Ya memang sebaiknya dirombak total saja kepengurusannya dan dibuat aturan main yang jelas agar tidak terjadi lagi kasus berfoya-foya di atas penderitaan umat yang dijadikan tameng untuk mengumpulkan dana tersebut.
“Kenapa rekeningnya diblokir? Kan belum ada tindak pidananya dan belum ada yang dijadikan tersangka?”
Kalau rekening ya memang harus diblokir dulu agar tidak dipindahtangankan oleh pengurus yang ada. Lagipula itu kan dana umat dan bukan dana pribadi pengurus. Toh cuma diblokir dan ada saatnya blokir akan dibuka.
“ACT ini adalah lembaga besar yang sudah banyak membantu umat selama ini. Tidak semestinya kesalahan satu atau dua pengurus membuat kita jadi harus membunuh ACT.”
Setuju, bro…. Ayo dirembug sing enak agar institusi atau lembaga yang semula dirancang untuk membantu mereka yang miskin dan kesulitan dan telah menjadi institusi yang kuat ini tidak lantas mati karenanya. Dibantu dan diawasi saja agar manfaatnya semakin besar dan mudaratnya kita hentikan.
“Upaya untuk membunuh ACT ini adalah sikap islamofobia…”
Whaat…?! Siktalah….. Islamofobia itu apa sih…?! Kok sekarang istilah ini dengan entengnya dipakai untuk menembak orang-orang yang mengritisi sosok atau lembaga yang berjubah atau berafiliasi dengan Islam. Kemarin ada juga orang yang membela pesantren di Jombang yang anak kyainya melakukan kekerasan seksual pada santriwatinya dengan menuduh orang-orang yang mengecamnya sebagai islamofobia. Ngawur akbar iki…! 😁 (pinjam istilahnya Fritz Haryadi ).
Islamofobia adalah sebuah fobia atau suatu ketakutan, kebencian atau prasangka terhadap Islam atau Muslim secara umum,[1][2][3] terutama bila dipandang dari sisi Islamisasi dan sumber terorisme.[4][5] (Wikipedia). Secara bahasa, Islamofobia berasal dari dua kata, yaitu Islam dan fobia (ketakutan yang berlebihan). Jika ditarik maknanya, istilah tersebut didefinisikan sebagai prasangka atau ketakutan yang tidak wajar terhadap Islam dan kaum Muslimin. “Dalam arti yang lebih luas, Islamofobia juga menjadi sinonim dari ‘anti-Islam’, yakni segala sikap atau tindakan yang menunjukkan ketidaksukaan terhadap agama Islam,” ungkap peneliti dari Universitas Hamburg, Jerman, Miriam Urbrock dan Marco Claas, dalam karya tulis “Islamophobia: Conceptual Historical Analysis.”
Tapi istilah ini sekarang dipakai berlindung oleh orang-orang yang getol menggunakan agama Islam sebagai atribut dan dagangan mereka jika diserang atau dikritisi. Mereka berlindung dengan dalih menyerang mereka adalah menyerang Islam. Dan menyerang mereka berarti sikap islamofobia. Sungguh ciamik…! 😎
Bukan hanya itu. Sekarang ini jika ada orang yang mengritik prilaku umat Islam yang salah atau tidak patut juga sudah distigma sebagai islamofobik. Bahkan Pangeran Salman yang kini melonggarkan aturan soal berpakaian para wanita Saudi Arabia juga dituding islamofobik. Edan tenan…! 😂
Beberapa waktu yang lalu dunia beramai-ramai melarang penggunaan cadar di tempat umum. Ada sekitar 11 negara yang melarang penggunaan cadar di tempat umum. Beberapa di antaranya adalah : Prancis, Belgia, Belanda, Italia, Spanyol, Switzeland, Denmark, termasuk negara-negara Islam seperti Aljazair, Chad, Kamerun, Nigeria. Negara-negara tersebut akhirnya dituduh mengidap islamofobia karenanya.
Mengapa negara-negara tesebut melarang penggunaan cadar dan burqa? Sila cari tahu agar paham. Apakah dengan demikian maka mereka bisa dianggap mengidap islamofobia? Ya jelas tidak. Yang muncul adalah CADARFOBIA, rasa takut atau fobia pada orang-orang yang bergamis dan bercadar. Jadi bukan Islam yang ditakutkan atau menimbulkan kecurigaan pada khalayak tapi khusus pada wanita (atau pria yang menyamar wanita) bergamis hitam dan bercadar. Dan itu terjadi karena banyaknya tindakan terorisme yang dilakukan oleh orang-orang yang bercadar. Di Indonesia sendiri hal ini terjadi. Beberapa waktu yang lalu terjadi pengeboman gereja di Surabaya yang dilakukan oleh Dita Oeprianto dan istrinya Puji Kuswati dengan membawa anak-anak mereka untuk melakukan pengeboman bunuh diri. Dita tidak berjenggot dan bercelana cingkrang. Puji Kuswati, istri Dita, juga tidak bercadar dalam kesehariannya. Tidak ada tanda bahwa mereka mengikuti kelompok radikal. Tapi Puji Kuswati dan dua orang anak perempuannya memakai gamis hitam dan bercadar ketika meledakkan diri. Gamis hitam dan cadar dijadikannya sebagai outfit untuk melakukan pemboman bunuh diri. Akhirnya orang-orang takut alias fobia pada orang bercadar.
Jadi tolong jangan menyalahkan siapa pun jika ada orang (atau negara asing) yang fobia terhadap cadar karena memang umat Islam sendiri, wabil khusus para teroris, yang menyebabkannya.
Tentu saja tidak ada islamofobia di Indonesia karena faktanya tidak ada orang yang takut atau curiga pada orang yang sarungan berkopiah sambil membawa Alquran. Tidak ada orang yang takut atau fobia pada orang yang sehari-hari ke masjid. Tidak ada orang yang takut pada wanita berjilbab, pengajian, shalawatan, khitanan, dan segala macam ajaran dan budaya Islam lainnya. Tidak ada yang takut atau curiga pada mereka karena selama ini mereka memang tidak pernah menimbulkan masalah. Tidak ada larangan untuk beragama Islam atau menjalankan ibadah Islam di mana pun. Pakai jilbab juga tidak pernah dilarang. Yang dilarang di berbagai negara hanyalah mengenakan cadar di tempat-tempat umum. Jadi fobianya adalah pada orang bercadar dan bukan pada agama atau umat Islam itu sendiri.
Begitu juga jika ada orang yang takut pada sekelompok umat Islam yang membawa-bawa nama ormas Islam yang sering membuat kegaduhan maka itu juga bukan islamofobia. Itu mungkin ‘ormas Islam-fobia’. Mereka takut pada kelompok ormas Islam dan bukan pada Islam itu sendiri.
Jadi saya katakan bahwa tidak mungkin umat Islam terkena islamofobia karena tidak mungkin umat Islam takut pada agamanya sendiri. Umat lain juga tidak mengidap islamofobia karena mereka tidak takut dengan ajaran Islam mau pun praktek ibadah Islam lainnya. Mereka mungkin cadarfobia, gamisfobia, takbirfobia, atau ormas Islamfobia tapi bukan Islamofobia. Lha wong saya saja kalau lihat rombongan orang-orang bergamis, berjenggot panjang, lantas bertakbir bersama keras-keras saya langsung takut kok. Onok opo maneh iki…?! 🤔
Surabaya, 8 Juli 2022
Satria Dharma