
Kami berangkat pagi dari Kotamobagu dan masuk Kota Manado sekitar jam 1 siang. Kami langsung mencari tempat tes PCR di Lion Air agar bisa pulang naik pesawat ke Surabaya. Lion Air memang menyediakan fasilitas tes PCR dengan harga lebih murah daripada di labkes umum. Tapi tentu saja hanya untuk mereka yang beli tiket Lion. Hujan turun dengan deras dan kami basah kuyup karena tidak siap payung. Antrian untuk tes PCR sudah ratusan dan kami dapat nomor 200-an lebih. Padahal Lion Air hanya salah satu tempat tes PCR. Ternyata syarat harus tes PCR yang mahal pun tidak mengurangi keinginan orang untuk bepergian naik pesawat. Orang Indonesia ini memang WOW…! 😁
Karena antrian kami masih lama kami lalu menuju ke Aston untuk check in dan ganti baju dulu. Kami juga beli sandal jepit karena sepatu kami basah kuyup. Ketika sampai di tempat tes kok ya pas nomor antrian kami dipanggil. Yo iki sing jenenge bejo. 😁
Selesai tes PCR kami lalu meluncur ke salah satu rumah makan di tepi pantai untuk menikmati ikan bakar Manado yang sangat kondang tersebut. Surprisingly kami dapat ikan Kakaktua besar yang di tempat lain sudah tidak boleh dikonsumsi karena mestinya sudah dilindungi. Tampaknya di Manado masih banyak ditemukan dan dikonsumsi. Ikan ini favoritnya istri saya dan selalu ia promosikan. Bagaimana rasa ikan bakar Kakaktua ini? Tidak usah saya jelaskanlah. Marai awakmu pingin ae. 😁
Besoknya kami ditraktir makan ikan bakar lagi oleh Fitri dan Hamzah, keluarga Masago kami yang tinggal di Manado. Kali ini menunya lebih berlimpah dan ada menu Rahang Tuna yang ternyata uenak pol ditutulno sambel rica. Lha rahangnya aja sebesar ini apalagi bodinya. 😂
Kemarin kami sempatkan untuk jalan-jalan ke Bitung untuk mengganjili jumlah kota yang kami datangi dalam tur kami ini (mau saya tulis menggenapi tapi kok jumlahnya ganjil) Jadi selama 13 hari ini kami mendatangi 9 kota, yaitu: Makassar, Toraja, Tentena, Palu, Kotaraya (ini sebenarnya hanya desa statusnya), Gorontalo, Kotamobagu, Manado, dan Bitung. Lumayan segerlah hati ini bisa berkelana dari satu kota ke kota lain setelah dihajar pandemi. 😁
Kota Bitung sendiri adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara yang terletak paling ujung dari Pulau Sulawesi. Coba cek di peta jika ingin tahu. Kota kecil ini memiliki perkembangan yang cepat karena terdapat pelabuhan laut yang mendorong percepatan pembangunan. Untuk ke Bitung juga sangat mudah karena sudah ada jalan tol yang hanya 36 km panjangnya. Meski demikian ternyata tidak banyak kendaraan yang melalui tol ini. Kota Bitung terkenal dengan julukan Kota Cakalang. Cakalang itu nama lain dari ikan Tuna yang lebih kita kenal. Wilayah Kota Bitung terdiri dari wilayah daratan yang berada di kaki gunung Dua Saudara dan sebuah pulau yang bernama Lembeh.
Banyak penduduk Kota Bitung yang berasal dari suku Sangir, sehingga kebudayaan yang ada di Bitung tidak terlepas dari kebudayaan yang ada di wilayah Utara kota tersebut. Kota Bitung merupakan kota industri, khususnya industri perikanan. Kini Bitung dijadikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Badan Pusat Statistik kota Bitung tahun 2021 mencatat jumlah penduduk kota Bitung tahun 2020 sebanyak 225.134 jiwa, dengan kepadatan 718 jiwa/km2. (Wikipedia)
Ketika kami tiba di Bitung ternyata ada sebuah pulau yang cukup besar yang terpisah dari pulau Sulawesi dan sangat dekat dengan Bitung, namanya pulau Lembeh. Pulau yang memiliki luas 5.040 hektar ini terpisah dari daratan utama Pulau Sulawesi oleh Selat Lembeh. Pulau Lembeh juga masuk dalam wilayah administrasi Kota Bitung. Pulau ini secara administratif terbagi dalam dua kecamatan yaitu Kecamatan Lembeh Utara dan Lembeh Selatan. Pulau ini terkenal karena menjadi lokasi penyelaman wisatawan asing di Sulawesi Utara selain Bunaken. Pulau Lembeh memiliki 92 spot untuk menyelam dan semuanya punya kelebihan masing-masing. Katanya saking banyaknya spot diving di sekitar pulau ini, kita bakal butuh setidaknya 20 tahun untuk menyelami semua titik diving di Selat Lembeh. Tak cuma diving, traveler bisa juga berkeliling Pulau Lembeh dan melihat beberapa destinasi wisata lainnya. Karena ukurannya tidak terlalu besar, berkeliling Pulau Lembeh bisa dilakukan selama seharian. Matur nuwun. Kulo nanging ningali saking tebih mawon. 😁
Untuk ke Pulau Lembeh ini kita harus lewat ke Dermaga Ruko Pateten untuk menyeberang ke Pulau Lembeh dengan waktu tempuh 15 menit dengan kapal ferry kecil. Kabarnya pemerintah akan membangun jembatan yang bisa menghubungkan daratan Kota Bitung dengan Pulau Lembeh. Hal ini untuk meningkatkan akses menuju kawasan wisata dan mempermudah wisatawan untuk datang. Rencananya, jembatan yang dibangun adalah sepanjang 1 km dan membelah Selat Lembeh yang berupa perairan sempit dan menjadi tempat hilir mudiknya kapal. Dengar-dengar biaya investasi jembatan ini diperkirakan mencapai Rp. 500 milliar. Tapi saya tidak akan ikut berinvestasi di sini. Olaopo. Serahno pemerintah ae. 😁 Nanti kalau sudah jadi saja mungkin saya akan datang lagi. 😎
Di Bitung ini saya sempat melihat kapal Pelni yang dijadikan rumah sakit tempat isolasi orang-orang Bitung dan sekitarnya yang terinfeksi Covid 19. Pada awalnya cukup banyak yang dirawat di kapal tersebut tapi sekarang tinggal 7 orang. Mestinya ditarik ke RS setempat saja karena biayanya tentu sangat besar untuk mengoperasikan kapal besar tersebut hanya untuk 7 pasien. Tapi disini kita bisa melihat bahwa Indonesia di bawah Pak Jokowi benar-benar all-out untuk mengurusi pandemi ini. Hats off to you, Mr. President. 🙏😁
Sekian dulu kisah perjalanan kami kali ini. Saya doakan kalian semua punya kesempatan baik berupa kesehatan, dana, dan waktu juga untuk jalan-jalan seperti kami. Amin…! 🙏😁
Manado, 22 September 2021
Satria Dharma