
Pada tahun 1957 ayah saya yang baru berusia 23 tahun sudah beristri dan beranak satu. Saat itu beliau masih berstatus mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Tapi selain itu beliau juga sudah menjadi PNS di Kantor Inspeksi IV Jawatan Penempatan Tenaga Makassar. Tampaknya ini semacam dinas di bawah Kementrian Dalam Negeri. Daerah inspeksinya meliputi Indonesia Bagian Timur, yaitu Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara). Ambon (Daerah Maluku), Singaraja (Bali). Ayah saya menggunakan ijazah SMA-nya ketika bekerja. Pada waktu itu tenaga kerja yang trampil dan berpendidikan mungkin masih sulit dicari sehingga ayah saya mudah saja mendapatkan pekerjaan.
Meski hanya berijazah SMA tapi ayah saya sudah mendapatkan posisi yang lumayan bagus di kantornya. Beliau sering dikirim ke berbagai daerah untuk melakukan inspeksi ke daerah-daerah yang menjadi lingkup tugasnya. Jadi sejak masih mahasiswa ayah saya memang sudah berkeluarga, punya anak, punya banyak tanggungan selain keluarga utamanya (bersama ibu saya ikut juga nenek dan kakaknya dengan 4 orang anaknya yang sudah yatim), menjadi pegawai yang cukup sering bertugas ke luar daerah sehingga cara berpikirnya memang sudah jauh lebih matang ketimbang anak-anak mahasiswa zaman sekarang. Pada saat itu ayah saya harus sudah mencari rumah kontrakan yang lebih besar di Mamajang, Makassar.
Pada tahun 1957, sepulang dari Ambon ternyata Ibu saya hamil untuk kedua kalinya (Horeeee…!Saya akan segera lahir…!). Rumah kontrakan ayah saya di Maccini terasa sudah sempit sehingga mereka terpaksa harus pindah. Untung ayah saya mendapat rumah kontrakan di Mamajang yang cukup besar Rumahnya berupa rumah panggung kayu. Yang di atas adalah kamar-kamar tidur sedangkan yang dibawah dipergunakan untuk dapur dan kamar untuk ruangan makan.
Berikut ini adalah kisah ayah saya ketika masih muda dulu. Dari kisah beliau ini saya bisa mengetahui bahwa ayah saya bukan hanya ganteng dan menjadi rebutan para wanita pada zaman itu, tapi juga pemberani (rodok preman sakjane), pintar secara akademis, dan cerdik dalam menghadapi masalah. Ternyata ayah saya juga suka menulis diary. Tidak heran jika kemudian kebiasaan ini menular ke saya. Like father like son…
Kondisi keamanan di Sulawesi Selatan pada saat itu semakin kacau karena adanya pemberontakan Kahar Muzakkar yang terus menerus meneror pemerintah dan rakyat. Hal ini mengakibatkan hubungan antara daerah ke Makassar terputus. Para pelajar dari berbagai daerah di Makassar terputus hubungannya dengan orang tuanya. Akibatnya bantuan atau suplai bahan makanan dari daerah masing-masing terhenti. Atas prakarsa Dewan Pemuda Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Dahri (Ketua Pemuda Pelajar Massenrempulu) yang kebetulan juga Kepala Bidang Pendidikan Pemerintah Provinsi, mereka berinisiatif memohon bantuan pada Gubernur untuk menanggulangi kebutuhan hidup dan pendidikan para pelajar yang terputus hubungan dengan daerahnya. Usulan ini berhasil disetujui oleh Gubernur Andi Pangeran Pettarani. Untuk daerah Sinjai A. Daulat berinisiatif mendaftar nama-nama pelajar dan mahasiswa Sinjai kemudian mengajukan ke kantor gubernur tetapi ditolak…! A. Daulat lalu membawa daftar nama-nama tersebut ke kantor saya melaporkan penolakan tersebut. Setelah saya teliti ternyata surat tersebut memang tidak melalui prosedur. Maka saya ambil alih tugas tersebut. Dalam daftar saya harus menandatanganinya sebagai pemohon, yaitu sebagai Ketua Pemuda Pelajar Sinjai dan disetujui oleh KPN (Kepala Pemerintah Negeri) Sinjai, Pak Bustan, dan Residen Bantaeng Pak Alimuddin Dg. Mattiro. Kebetulan keduanya berada di Makassar. Pak Bustan kebetulan memerlukan bantuan saya bertalian dengan konflik penolakan raja-raja di Sinjai atas pengangkatan Pak Bustan sebagai Kepala Pemerintah Negeri di Sinjai sehingga tidak ada kesulitan mendapatkan tanda tangan persetujuan beliau. Untuk mendapatkan tanda tangan dan persetujuan Pak Alimuddin kebetulan putranya sahabat saya dan teman kuliah di Fakultas Ekonomi sedang rumahnya dekat kampus. Kepada Kaimuddin, teman saya tersebut, saya minta tolong dimintakan waktu untuk beraudiensi dengan bapaknya dan diterima malam hari. Alhamdulillah tidak ada kesulitan mendapatkan persetujuan dan tanda tangan Beliau sehingga besoknya daftar nama-nama tersebut saya bawa sendiri ke kantor gubernur dan langsung diterima dan disetujui tanpa harus berhadapan langsung dengan Pak Gubernur.
(Dari sini kita bisa melihat bahwa ayah saya mampu melihat permasalahan dengan cepat dan tahu bagaimana menemukan solusinya. Beliau juga melakukan sendiri pemecahan masalahnya dan tidak hanya memberikan perintah)
Tidak semua daerah mendapat bantuan. Yang dapat mulai dari Luwuk (Palopo), Massenrempulu, Toraja, Soppeng, Wajo, Watampone, dan Sinjai. Tiap bulan kami harus mengajukan pencairan bantuan ke Kantor Gubernur. Jatah untuk Sinjai sebanyak 135 siswa.
(Apa rahasia sehingga ayah saya dengan mudah mendapatkan tanda tangan dari Pak Bustan yang menjabat sebagai Kepala Pemerintah Negeri Sinjai, yang belum aktif saat itu? Berikut kisah ayah saya…)
Pak Bustan, Kepala Pemerintahan Negeri Sinjai, rupanya bermasalah dengan raja-raja di Sinjai. Para raja menolak kehadiran KPN Sinjai dan ingin mempertahankan kekuasaannya di Sinjai. Ada 5 raja Sinjai, yaitu:
1. Raja Bulo-Bulo Timur
2. Raja Lamatti
3. Raja Tondong
4. Raja Bulo-Bulo Barat
5. Raja Manipi
(Pusing kan Anda kalau dapat tugas, sudah ada SK-nya dari Pusat, tapi ditolak oleh Raja-raja kecil yang sok berkuasa di daerah di mana Anda mendapat tugas… Bayangkan, itu tahun 1957 di mana Pemerintah Pusat dan Propinsi masih labil. Pemerintah Propinsi juga masih menghadapi pemberontakan Kahar Muzakkar. Anda hanya punya SK tapi Anda harus menghadapi para raja kecil yang mokong dan menolak Anda. Ingat bahwa ini di Bugis, Sulawesi Selatan, zaman di mana orangnya ya begitulah…! Maksudnya sopan-sopan dan tepo sliro seperti saya).
Pak Bustan minta tolong kepada saya mencari jalan penyelesaian karena takut mendapat marah dari Gubernur karena sudah ada satu bulan mendapat tugas tapi masih menganggur di Makassar karena ditolak oleh raja-raja kecil Sinjai.
Untuk penyelesaiannya saya tidak mau langsung berhadapan dengan para raja-raja di Sinjai tersebut. Sebagai seorang pegawai negeri saya ambil penyelesaian secara prosedural kepegawaian. Kepada Pak Bustan saya tanya pengangkatan beliau sebagai kepala Pemerintah Negeri Sinjai yang ternyata beliau sudah menyiapkan salinannya. Salinan beslit itu saya pinjam untuk saya pelajari. Setelah saya amati SK itu ada Keputusan Menteri Dalam Negeri berarti pengangkatan pemerintah pusat….! Kepada Pak Bustan saya bilang, :”Insya Allah saya bisa membantu Pak Bustan.”
Besoknya saya ke kantor gubernur meminta waktu untuk menghadap beliau dan diberikan waktu sore nya di gubernuran (istana Gubernur di Jalan Ratulangi). Saya langsung menghubungi saudara Ramlan untuk menemani saya sekedar melaporkan persoalan KPN Sinjai dengan raja-rajanya. Setelah mendengarkan laporan tersebut Gubernur marah sekali terhadap para raja-raja karena menganggap para raja ingin mempertahankan kerajaannya. Ucapan beliau dengan geram, :”Berani-beraninya mereka itu…! Mereka kan tahu siapa raja di Sulawesi Selatan ini yang paling tinggi martabat kerajaannya, adalah Pangeran (sambil menepuk dadanya). Saya sendiri tidak berani mempertahankan kerajaan saya. Sudah, besok saya akan panggil mereka semua.”
Tanggapan Pak Gubernur melegakan hati saya….
Akan tetapi rasanya belum puas. Maka kembali ke rumah saya membuat pernyataan yang ditujukan kepada para raja itu yang isinya beslit atau SK pengangkatan KPN Sinjai adalah keputusan Menteri Dalam Negeri. Berarti penetapan dari pemerintah Republik Indonesia. Sehingga penolakan merupakan pengkhianatan atau makar terhadap pemerintah Republik Indonesia dan pelakunya bisa ditangkap dan dijebloskan dalam penjara. Tembusan surat tersebut kepada Menteri Dalam Negeri, Gubernur dan Panglima T.T. VII Hasanuddin.
Kami menghadap kembali ke Pak Gubernur untuk menyerahkan tembusan surat dan sebagaimana biasa kami diterima di gubernuran sore harinya. Beliau memberi tahu bahwa para raja sudah dipanggil. Kami segera pamit dan sebelum keluar dari pintu beliau memanggil saya dan menanyakan apakah tembusan surat ke Kementerian Dalam Negeri sudah dikirim. Saya jawab belum dan beliau meminta supaya jangan dikirim dan mengatakan para raja itu kan saudaramu juga. Kasihan mereka bisa dianggap sebagai pengkhianat dan dimasukkan penjara.
Dua hari kemudian saya mampir ke rumah Kak Saifudin sekedar menjenguk. Saya pamit untuk pulang ke kantor. Sebelum naik mobil dinas tiga orang Raja datang yaitu Andi Bagenda, Raja Tondong, Karaeng Saleh, Raja Manipi, dan Andi Ahmad, Raja Lamati. Mereka sempat menyapa saya sedang A. Ahmad langsung menyalami saya dan menyapa dalam bahasa Bugis, :”Addampengngangnga, Ndik. Iyak maccoe’makka. Nakku dek tammaseangngi, masyilaka manengngi. (Maafkan saya, Dik. Saya hanya ikut-ikutan saja. Kalau tidak mengasihani kami maka celakalah kami semua.)” Saya jawab, ” Itulah Kak, kondisi negara kita masih belum stabil. Makanya jangan macam-macam. Bisa celaka…!”
Rupanya mereka baru saja pulang dari menghadap Pak Gubernur. Saya bersyukur kehadirat Allah Karena dengan demikian saya dapat menolong Pak Bustan mengatasi pertikaian dengan para raja-raja Sinjai sehingga beliau dapat bertugas sebagai kepala pemerintahan Negeri Sinjai.
Demikianlah kisah yang ditulis sendiri oleh ayah saya. Dari sini kita bisa melihat bahwa beliau sangat cerdas dan mampu melihat permasalahan secara menyeluruh dan dengan cerdik mengubah situasi dengan menghadapkan para raja-raja kecil ini dengan Raja yang lebih berpengaruh, yaitu Andi Pangeran Pettarani, yang merupakan keturunan raja besar di Sulsel dan sekaligus seorang Gubernur saat itu.
Angkat topi untuk ayah saya dari perut ibu saya….!
Surabaya, 10 Maret 2020
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com