Kemarin ada ribut-ribut soal teguran dan pertanyaan Menkominfo pada seorang anak buahnya karena mengaitkan pemilihan desain dengan pemilihan presiden. Beliau bertanya, “Yang menggaji kamu siapa…?!”
Saya jadi ingat apa yang pernah saya alami dulu ketika masih mengajar.
Saya tidak ingat persis waktunya tapi sekitar tahun 1986 – 1987, yaitu ketika saya masih mengajar di SMAN 13 Surabaya. Saya seorang PNS dengan golongan II/b waktu itu dan belum III/a karena belum sempat mengurus penyesuaian kesarjanaan saya. Lagipula dulu itu tidak otomatis dan kita mesti mengurus sendiri dan it takes time and effort.
Pada suatu hari, entah karena dekat pemilu, tiba-tiba semua guru diminta mengisi formulir untuk mendaftarkan diri menjadi anggota Golkar. Sekedar informasi, Golkar dulu sak penak-penake dewe memaksa PNS untuk masuk Golkar soalnya kan mereka sedang berkuasa penuh di bawah Mbah Harto yang meski pun fotonya selalu smiling but he was a general with an iron hand.
“Wajib…!” kata guru yang membagikan formulir tersebut.
Tapi karena saya tidak ingin menjadi anggota Golkar maka formulir tersebut saya lipat dan simpan. Eh, ternyata formulir yang masuk dihitung…! Ketika ketahuan saya yang belum mengumpulkan maka ditanya kenapa tidak mengumpulkan. “Nggak tertarik untuk masuk Golkar.”, jawab saya.
Saya lalu diberitahu bahwa semua guru wajib mengisi formulir tersebut. Tapi saya sedang mokong-mokongnya waktu itu maka tidak saya gubris. “Kalau wajib tolong beri saya surat perintah untuk ikut Golkar. Nanti saya isi formulir tersebut.” Tentu saja itu jawaban yang menjengkelkan bagi atasan saya. Kepala Sekolah lalu menyerahkan formulir yang ada dan melaporkan ke Dinas Pendidikan Propinsi bahwa ada satu guru yang tidak bersedia. Maka marahlah orang di Gentengkali. “Sopo iki guru sing kemlinthi kok berani-beraninya menentang perintah atasan…?!”, mungkin begitu pikir mereka. Saya memang kemlinthi betul waktu itu.
Saya pun di panggil ke Gentengkali menghadap salah seorang petinggi di lantai 2. Selain saya ternyata ada juga seorang pembangkang lain entah dari sekolah mana dan kota mana. Dia menolak masuk Golkar karena tidak sesuai dengan keyakinan agamanya. Dia seorang pemeluk Kristen tertentu yang melarang umatnya untuk banyak hal termasuk hormat bendera. Dia pemeluk agama Kristen garis keras dan dia bersedia keluar dari PNS jika dipaksa. Pak Pendeta, sebut mereka. Nyahok lu kalau ketemu orang beginian…
Begitu giliran saya masuk saya menghadap dengan patuh dan duduk di sebuah meja oval besar berhadapan langsung dengan sang pejabat. Selain beliau ada juga dua orang lain, yaitu stafnya dan staf dari kantor yang membawahi sekolah saya. Saya melihat wajahnya tampak sedang uring-uringan. Mungkin tadi dia tidak berhasil mengintimidasi si pendeta dan itu membuatnya berang.
Baru saja saya duduk ia langsung memborbardir saya dengan pertanyaan.
“Ini ya orangnya yang membangkang itu… Kenapa kamu menolak mengisi formulir? Apa alasanmu…?!”
Saya mencoba untuk bersikap cool sebisa mungkin. Tapi jelas sulit bersikap cool dalam situasi diintimidasi seperti itu. Saya lalu menjawab bahwa saya tidak ingin masuk organisasi politik dan ingin professional sebagai guru saja. Eh, lha kok dia tambah marah… Saya lalu dibentak, “Golkar itu bukan partai politik tapi GOLONGAN. Golongan orang-orang yang berkarya seperti kita.” Lalu dia pun nyerocos soal bedanya golongan dan partai politik. Yang parpol itu adalah PPP dan PDI (waktu itu hanya ada tiga kontestan pemilu rasanya). Saya sebetulnya mau ketawa tapi saya simpan di dalam hati. Ini orang kok mau ngibul sama saya. Mosok Golkar katanya bukan partai politik. Lha kalau bukan partai politik ngapain ikut pemilu? Tapi saya diam saja. Ini bukan forum diskusi. Ini forum pengadilan di mana saya sebagai terdakwanya.
Si Pejabat lalu ngoceh panjang lebar tentang perlunya PNS itu patuh pada atasan dan patuh pada pemerintah. Pemerintah melalui Golkarlah yang membayar gaji kita selama ini, dll… dll… Saya diam saja. Tapi saya mulai jengkel sama orang ini.
“Kamu jangan seenaknya. Bekerja ikut golkar, gaji dari Golkar, makan ikut Golkar, eh… malah jadi pengkhianat…!’, semburnya.
“Whaat…! Say it again…?!” Tiba-tiba ‘mak sengkring’ emosi saya naik.
“Jangan jadi pengkhianat…!” semburnya lagi. Astagfirullah hal adzim…! Wong iki njaluk dipancal endase.
“Saya bukan pengkhianat…!” saya langsung memotongnya dengan marah. Mata saya langsung melotot dan ia tertegun melihat saya berani memotongnya.
“Saya bekerja untuk negara dan saya digaji oleh negara. Saya tidak bekerja untuk Golkar dan tidak digaji oleh Golkar. “ seru saya dengan intonasi yang tidak kalah tingginya dengan suaranya.
Tentu saja dia marah. Dia lalu berdiri dari kursinya dan menggebrak meja. “Kamu jangan kurang ajar sama atasan ya…!”
Entah darimana saya memperoleh keberanian tapi saya juga berdiri dan menggebrak meja juga, sama kerasnya dengan Pak Pejabat. “Kamu bukan atasan saya…!” kata saya dengan wajah yang sama marahnya. (Bugise metu, jare Cak Nanang). Kalau dia menaikkan kemarahannya maka saya mungkin akan melompati meja mendatanginya. No…no…no…! Tidak. Itu cuma imajinasi saya. Saya tidak punya kemarahan sedahsyat itu. Saya hanya mengimbangi permainan emosi Pak Pejabat.
Sontak kedua stafnya lompat dari kursinya dan memegang saya. Rupanya mereka kuatir kalau-kalau saya menerjang atasannya which is impossible because I’m a civilized person. “Tidak boleh bersikap demikian pada atasan. “ kata mereka pada saya.
“Dia bukan atasan saya…!” saya tegaskan lagi pada mereka.
Begitulah kisahnya…
Akhirnya saya sukses diskors, dinonedukatifkan dengan memindahkan saya ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Rungkut Surabaya. Saya ‘dibina’ di sana tanpa diberi tugas apa pun. Bahkan oleh atasan baru saya (kalau tidak salah namanya Pak Toni) saya diberi kebebasan mau masuk atau pun tidak. Ya saya milih tidak masuk lha wong saya gak punya tugas apa pun. Saya hanya diajak ngobrol sesekali oleh Pak Toni dan diwejang mengenai agama dan perlunya patuh dan taat pada atasan. Things like that. Pak Toni mengira saya menolak masuk Golkar karena alasan agama kayak Pak Pendeta pembangkang satunya itu. Mungkin dipikirnya saya ini seorang muslim radikal pembangkang yang perlu mendapat sentuhan pandangan keagamaan yang lebih moderat. Tapi selebihnya saya tidak pernah datang ke kantor dan sibuk mengurusi lembaga bimbingan belajar saya yang mulai berkembang dan harus saya tangani dengan serius.
Bagaimana dengan gaji saya sebagai PNS?
Karena saya tetap tidak datang meski waktunya gajian, sedangkan gajian waktu itu belum masuk ke bank dan diterima dalam amplop dengan slipnya, maka staf dikbud Rungkut dengan baik hati mengantarkan gaji itu ke kantor lembaga bimjar saya di Kertajaya. “Mohon diterima demi administrasi kantor, Pak. Kalau tidak mau silakan disedekahkan. Yang penting Pak Satria tandatangan.” Demikian pesan Pak Toni.
Dan gaji itu saya terima, saya tandatangani berkasnya, dan amplop gajinya saya masukkan laci meja saya tanpa saya buka. Sekitar delapan bulan kemudian seorang teman, bekas tetangga, yang juga mengajar di lembaga saya mengeluh butuh dana untuk kontrak rumah sedangkan ia tidak punya uang. Delapan bulan gaji saya yang masih utuh dalam amplop itu saya berikan semuanya padanya.
Saya sungguh merasa terbebas darinya…
Jadi balik pada pertanyaan di atas… “Yang menggaji kamu siapa…?!”
Surabaya, 1 Februari 2019
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Ikut hanyut dengan kisah heroik Bapak. Berani memegang prinsip…saya kagum.dan salut