
Seorang teman Nasrani yang lama tidak bertemu menyalami saya dengan gembira ketika bertemu di Denpasar kemarin.
“Hei, saya ngikutin terus lho tulisanmu di FB. Saya mendapat pencerahan soal agama Islam dan sejarahnya. Saya jadi tahu tentang Perang Shiffin.” Senyumnya mengembang dan ia tidak melepaskan jabat tangannya.
Tiba-tiba ia menarik tangan saya menjauh dari kerumunan. “Saya mau tanya sesuatu..” katanya.
“Menurutmu apakah masalah bendera tauhid itu masalah yang sangat serius bagi umat Islam?” tanyanya dengan wajah serius. Senyumnya menghilang.
Sekarang justru saya yang pingin ngakak lihat wajahnya. 😀
“Ya, bagi sebagian umat Islam yang merasa bahwa bendera itu adalah representasi agamanya. Karena bendera itu mereka anggap sebagai representasi keimanannya maka membakar bendera tersebut mereka anggap sebagai penghinaan terhadap akidah mereka.”
“Akidah…?!” Ia agak bingung.
“Maksudnya adalah bahwa ada sebagian umat Islam yang merasa bahwa inti dari keimanan mereka ada pada bendera tersebut sehingga begitu bendera tersebut dibakar maka ikut terbakar jugalah keimanan mereka.” jawab saya sambil bergurau. 😊
“Lha kalau menurut umat Islam yang lain sebenarnya bagaimana?” ia kembali bertanya.
“Saya tentu ikut yang keimanannya ada di dalam hati dan bukan di bendera.” jawab saya sambil tertawa. Kini ia ikut tertawa. Ia mulai nampak paham.
“Jadi ini bukan masalah akidah ya. Lha menurutmu bendera tauhid itu sendiri bagaimana posisinya?”
“Jelas bukan akidah lha wong yang menentang pengibaran bendera ini justru sesama Islam. Mosok sesama Islam berbeda akidah. Yang berbeda adalah tentang pemahaman akan simbol agama saja. Bendera itu jelas sekali simbol dari organisasi transnasional Hizbut Tahrir. Mau dibantah bagaimana pun faktanya memang demikian. ISIS juga punya simbol dan bendera yang sama persis kontennya tapi desainnya berbeda. Jadi ISIS dan HTI sama-sama ingin mendirikan kekhilafahan. Mereka itu berebut pengaruh pada umat Islam melalui simbol kalimat tauhid yang sama. Mengapa? Karena mereka tahu umat Islam masih banyak yang pemahaman agamanya hanya berhenti di simbol-simbol dan teks. Mereka lebih mengagungkan simbol-simbol dan teks ketimbang substansi. Jadi sambil menghapalkan hadist “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” mereka tetap buang sampah sembarangan. Makanya bendera itu dikibarkan di mana pun organisasi itu mengadakan demonstrasi di berbagai negara. Kalau mau tahu cari saja di Google dengan kata kunci “Hizbut Tahrir in Turkey (Pakistan, England, Bangladesh, dan negara lain)” Cari di ‘image’ dan kita akan bisa melihat bendera Hizbut Tahrir ini sama di berbagai negara. Karena transnasional maka benderanya tanpa tulisan Indonesia. Kalau yang HTI, yang artinya Hizbut Tahrir Indonesia, maka dimodifikasi dengan tulisan “Indonesia” untuk menunjukkan eksistensinya.”
“Tapi kok katanya ada pengurus MUI yang membela dan bilang bahwa itu bukan bendera HTI dan sekedar bendera kalimat tauhid?”
“Itu mungkin kurang wawasan atau ada tendensi tertentu. Lagipula tidak semua anggota MUI itu satu pemahaman. Mungkin mereka tidak paham tentang Hizbut Tahrir atau HTI, meski ini agak aneh juga. Lha wong soal bendera ini ada mereka tuliskan pada buku mereka “Struktur Negara Khilafah Pemerintahan dan Administrasi di halaman 285.” Mungkin bacaan anggota MUI itu belum sampai ke sana.” (https://tsaqofah.id/struktur-negara-khilafah…/)” jawab saya sambil berjalan ke sudut untuk mengambil secangkir kopi. Ia terus membuntuti saya.
“Kok yang pasang badan soal pembakaran bendera ini justru NU ya?”
“Ya karena di NU itu banyak kyai yang benar-benar paham akan bahaya dari organisasi transnasional yang mau menjajakan paham khilafah di negara kita. Merekalah yang sejak awal menyadari betapa pentingnya menjaga bangsa dan negara ini dari rongrongan para pengasong khilafah. Jadi mereka memang pasang badan sejak awal. Itu sebabnya saya sangat hormat pada kyai-kyai mereka.”
“Tapi apakah menurutmu umat Islam yang lain akan paham juga nantinya. Kok sekarang banyak yang malah bangkit membela bendera HTI tersebut?”
“Jangan kuatir. Umat Islam Indonesia itu berbeda dengan umat Islam di Timur Tengah. Kita lebih moderat dan lebih toleran. Itu sudah diakui oleh umat Islam di negara-negara lain. Ini hanya sebuah tahapan pembelajaran untuk menuju pemahaman Islam yang lebih substansial dan rahmatan lil alamin.” Saya menyeruput kopi saya pelan-pelan dan menyesapnya di lidah. Ini pasti kopi Nusantara. Kalau pun jenis Arabika tapi pasti yang perkebunannya di Nusantara. 😊
“Kamu gak kuatir dengan perpecahan ini?” tanyanya menguber.
Saya terdiam sejenak.
“Kamu lihat di TV atau baca berita tentang Peringatan HSN di Sidoarjo kemarin nggak?” tanya saya.
“Iya saya lihat. Luar biasa ramai ya…” wajahnya berseri-seri.
“Tidak. Saya tidak kuatir. Santri Indonesia itu penjaga perdamaian. We will solve this problem eventually…. ” Saya menatap matanya lekat-lekat untuk meyakinkannya.
“Ayo ngopi,” kata saya padanya yang tampaknya masih bersemangat untuk bertanya. “Kuliah pagi soal simbolisasi agama melalui bendera cukup sekian dulu. Dilanjut kapan-kapan…”
Mulutnya yang terbuka dan siap bertanya langsung tertutup dan berganti dengan tawanya yang lebar.
Ia menepuk pundak saya pelan. “Terima kasih, kawan. Let’s keep in touch.” katanya.
“Sure. Nice meeting you. Ojok lali ngopi.” jawab saya.
Dan kami pun berpisah….
Bandara Soehat, Senin, 29 Oktober 2018