Alkisah…
Sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’. Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi awliya (mu); sebahagian mereka adalah awliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi awliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132). (Copied story)
Kisah ini menjadi popular belakangan ini karena dipakai dalam perdebatan pilgub DKI. Bagaimana pendapat Anda dengan sikap Umar ini?
Saya salut dengan Umar ra ini. Ini adalah contoh ketegasan dan kehebatan Umar sebagai pemimpin Islam. Pertama, dengan statusnya sebagai orang Nasrani maka juru tulis tersebut jelas akan menghambat pekerjaan penting dalam hal pelaporan administrasi kekhilafahan Umar ra. Pada jaman itu non-muslim sudah tidak bisa masuk ke Tanah Haram sehingga jika juru tulis atau staf penting yang perlu dihadirkan ke Tanah Haram adalah non-muslim maka jelas itu tidak bisa. Dan ini tentu menghambat pekerjaan Umar ra sebagai Khalifah. Kedua, jelas sekali bahwa saat itu adalah awal-awal masa kekhalifahan Islam sehingga dibutuhkan manajemen kekhilafahan yang bukan hanya efektif tapi juga benar-benar bercirikan Islam. Analoginya, sungguh aneh jika orang kepercayaan Vatikan yang posisinya begitu pentingnya sehingga perlu menghadap ke Paus sendiri di kantor Kepausan sono adalah staf yang beragama Islam atau bahkan Kristen! “Gak onok sing Katolik maneh tah sing iso dipilih, Black…?!”
Begitu kira-kira…
Ketiga, ayat itu memang pas untuk disampaikan kepada Musa Al- Asy’ari sebagai Gubernur Syam yang memang MEMILIH ORANG KEPERCAYAAN dari non-muslim.
Tapi ada beberapa hal yang luput untuk kita diskusikan atau kita lihat dalam kasus ini. Pertama, konteks kisah ini adalah MEMILIH ORANG KEPERCAYAAN dari non-muslim. Jadi Musa Al-Asy’ari ini tidak MEMILIH PEMIMPIN NON-MUSLIM lho ya. Ia memilih orang kepercayaan untuk tugas-tugas kekhilafahan Islam dari non-muslim. Jadi kalau mau dipakai untuk jadi argumen menghantam umat Islam yang mau milih gubernur atau walikota non-muslim ya tidak tepat-tepat amat. J
Kedua, perlu dipahami bahwa pemilihan staf non-muslim tersebut meski pun cakap tapi tidak pas. Itu mengakibatkan Umar kesulitan untuk memintanya datang berpresentasi ke Tanah Haram sebagai head quartersnya. Bener ning ra pener, alias benar tapi tidak penar. Begitulah…! 🙂
Bagaimana kalau kisah ini mau dibawa ke konteks Indonesia tahun 2016?
Pertama, mbok ya tolong disadari bahwa kita sudah merdeka 71 tahun sebagai Negara Republik Indonesia dan sudah disepakati bahwa negara kita adalah BUKAN NEGARA ISLAM. Kalau non-muslim gak boleh jadi pemimpin apa pun di Indonesia insya Allah Indonesia akan dilaknat oleh Allah karena tidak mensyukuri nikmat kemerdekaan sebagai negara demokrasi berlandaskan Pancasila. Saya serius nih! J
Saya sebetulnya mau ngomong banyak lagi tapi kok jadi laper ya…?! 🙂
Udah ah…!
Senin, 10 Oktober 2016
Salam
Satria Dharma