“Ibu, kalau di Sumba kan benderanya Merah Putih. Lantas kalau di Jawa warna benderanya apa, Ibu?” Ini pertanyaan Ndami Kahora Anding, siswi klas 7 SMPN 1 Mahu, Desa Wairara, Mahu, Sumba Timur.
Fakta bahwa anak SMP klas 1 tidak tahu bahwa bendera Merah Putih adalah bendera negara Indonesia adalah kejutan yg diterima guru SM-3T Unesa ketika mulai mengajar. Kejutan pertama adalah ketika penerimaan siswa baru yg masuk ke SMPN 1 Mahu. Tahukah Anda berapa jumlah siswa yg mendaftar tahun ajaran baru itu?
Hanya 7 orang siswa yg mendaftar tahun itu….
Kalau di Jawa siswa sampai harus diseleksi utk bisa masuk SMP Negeri karena terbatasnya kapasitas dibanding peminatnya tapi di kecamatan Mahu, Sumba Timur, hanya 7 gelintir lulusan SD yg mau dan bisa melanjutkan sekolah ke SMP…!
Lantas kemana semua lulusan SD yg ada dari berbagai SD yg ada di kecamatan itu…? Bu Guru tak punya jawaban. Tapi minat masyarakat Sumba utk menyekolahkan anaknya memang rendah. Wajib belajar…?! Mereka mungkin tak tahu soal itu. Yg jelas anak-anak mereka wajib membantu orangtuanya bekerja di ladang. Lha siapa lagi yg mesti membantu kalau bukan anak sendiri…?! Dan itu membuat sekolah menjadi gangguan bagi orang tua yg ingin agar anak-anaknya ikut membantu orang tuanya bekerja di ladang.
Tapi jika hanya ada 7 lulusan SD yg melanjutkan ke SMP, lantas berapa siswa yg akan bisa lulus SMP dan meneruskan SMA di Kecamatan Mahu, Sumba Timur? Berapa gelintir anak Sumba Timur yg nantinya akan bisa bekerja sebagai guru, tentara, polisi, pegawai kantor, anggota dewan, dll? Ini adalah gambaran suram dari masa depan anak-anak Sumba Timur.
Kejutan lain…?!
Meski para siswa baru ini sudah kelas 7 tapi mereka ternyata tidak tahu apa itu peta dan juga tidak tahu di mana letak Sumba dalam peta. Jadi wajar saja kalau mereka mengira bahwa Jawa punya bendera sendiri yg berbeda dengan bendera Sumba. Jadi jangan tanya soal konsep negara kesatuan republik Indonesia pada mereka. Apalagi menanyakan siapa Gajahmada dan Sumpah Palapanya.
Buku “Jangan Tinggalkan Kami” ini sudah mulai kubaca lebih dari seminggu tapi saya tidak pernah bisa menyelesaikannya. Setiap kali saya membaca sebuah kisah saya selalu disergap oleh keharuan yg tidak bisa saya tahan. Dan air mata saya selalu membanjiri pelupuk mata saya meski pun saya membaca di atas pesawat seperti sekarang ini. “Ya, Tuhan! Betapa menyedihkannya nasib anak-anak kita di sana dan betapa tegarnya para guru SM-3T…”. Padahal para guru ini baru lulus sarjana dan selama ini hidup dengan nyaman ikut orang tua. Tapi di Sumba Timur mereka harus hidup dalam kondisi yg begitu sulit karena mereka harus bertugas di sekolah yg terletak di daerah terdepan, terluar, dan terkebelakang seperti nama program yg mereka ikuti yaitu Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Terbelakang (SM-3T).
Bagaimana cara mereka utk bisa sampai di lokasi mengajar?
Pertama, naik pesawat dari Surabaya ke Kupang. Kupang ini ibukota propinsi NTT. Untuk itu mesti transit dulu di Denpasar. Berikutnya, setelah sampai di Kupang lalu naik pesawat lagi ke Waingapu. Waingapu ini ibukota pulau Sumba. Itu artinya kembali ke arah barat karena sebetulnya Kupang lebih jauh dari Waingapu. Tapi tidak ada penerbangan langsung dr Surabaya ke Waingapu, ibukota pulau Sumba. Jadi harus ke Kupang dulu. Dari situ baru naik pesawat kecil ke Waingapu (sekarang ada pesawat dari Denpasar ke Waingapu).
Kalau ketinggalan penerbangan ke Waingapu hari itu ya mesti nginap dulu di Kupang. Alternatif lain adalah dengan naik kapal laut dari Ende (Flores) ke Waingapu. Masalahnya, dari Surabaya ke Ende yang sulit.
Dari Waingapu baru ke kota-kota kecamatan dengan ”bus kayu” atau kalau disana disebut oto. Bentuknya adalah truk yang baknya diubah sebagai kabin penumpang dengan menambahkan kursi-kursi panjang. Kabin penumpang itu tidak saja berisi manusia, namun juga diisi dengan barang dan ternak. Kalau sudah penuh penumpang bisa naik di atap atau bergelantung di belakang. Perjalanan naik oto ini bisa puluhan jam bahkan beberapa hari karena mobilnya sesekali mesti nyebur ke sungai untuk menyeberang. Melanggar sungai, istilahnya.
Sudah selesai…?! Masih jauh…
Dari kota kecamatan menuju desa tempat sekolah di mana mereka harus mengajar nanti harus dilanjutkan dengan ojek sepeda motor. Kalau tidak ada bisa dengan traktor sawah, yang bisa dibayangkan kecepatannya. Jika kedua alternatif kendaraan tersebut tidak ada, pilihan terakhir adalah jalan kaki. Naik bukit, turun lembah, dan melanggar sungai, yang tidak cukup sekali karena tidak ada jalan atau jembatan untuk dilewati…..
Saya jadi membayangkan kali pertama saya bertugas mengajar di SMPN Caruban tahun 1978 di kecamatan Caruban, Madiun. Untuk sampai di sekolah ini saya tinggal naik bis dari terminal Joyoboyo, yg hanya sepelemparan batu dari rumah saya di Darmokali, ke Madiun dan berhenti tepat di depan sekolah yg dilewati bis. Very easy… Bis antar kota juga selalu ada 24 jam. Saya juga bisa pulang ke Surabaya setiap minggu kalau mau.
Itu pun saya sudah berlagak heroik berkoar pada teman-teman sekampung ‘meninggalkan kampung halaman untuk berkorban jiwa dan raga demi mendidik anak bangsa demi meneruskan perjuangan para pahlawan bangsa yg telah gugur mendahului kita demi tegaknya NKRI’. Begh…! Rasanya kayak pahlawan yg layak dapat kapling kuburan di Taman Makam Pahlawan saja. Saya sering membayangkan diri sendiri sebagai seorang pejuang penerus cita-cita kemerdekaan dengan meninggalkan semua kenikmatan hidup. Sebuah pengorbanan besar bagi anak kota seperti saya. (Kenikmatan hidup apane…?! Lha wong nang Suroboyo yo mbambet ngono lho…! Husy…! Ojok rame-rame.)
Saya dulu juga sering melebih-lebihkan betapa sulitnya jadi guru di desa dengan gaji yg pas-pasan (tapi kalau baru gajian langsung masuk rumah makan utk menikmati menu terbaik yg ada. Saya paling suka dengan botok ayam yg kuahnya sedap itu).
Tapi kalau membaca betapa sulitnya jadi guru SM-3T saya jadi malu sendiri. Pengalaman saya mengajar di Caruban terasa seperti kemewahan yg berlimpah.
Meski kehidupan dan mengajar begitu sulit ternyata setelah mengajar setahun para guru sementara ini merasa berat utk berpisah dengan para siswa dan masyarakatnya. Begitu juga sebaliknya. Para siswa sangat merasa kehilangan ditinggalkan oleh para guru Jawa mereka ini. Ketika perpisahan tiba kedua belah pihak merasa sangat sedih harus berpisah satu sama lain. Mereka merasa telah menyatu satu sama lain dan perpisahan terasa sangat menyakitkan.
Ada beberapa wali, siswa, dan juga orang tua asuh di SMPN Satu Atap Langira yg nekat menyusul guru SM-3T sampai ke Waingapu dan tinggal sampai mereka benar-benar terbang meninggalkan Sumba Timur. Menyaksikan hal ini Lia Ni’matul Maulla, salah seorang guru, sampai merasa ingin membatalkan kepulangannya dan kembali ke pelukan mereka yg dengan tulus menyayanginya. Beberapa orang tua siswa membawakan ayam utk dibawa sebagai oleh-oleh bagi guru Jawa mereka karena hanya itu harta berharga yg mereka miliki.
Membaca buku ini membuat saya sadar bahwa ada bagian lain dari tanah air Indonesia yg sebetulnya belum merasakan apa nikmat kemerdekaan dan masih hidup dengan kondisi kehidupan yg sama dengan masa sebelum kemerdekaan. Mereka adalah anak-anak yg terpinggirkan dari perhatian kita yg telah menikmati kemerdekaan.
Semarang, 4/9/2013
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com