Seorang teman mengadakan pesta sunatan anak bungsunya di rumahnya. Saya datang dan dengan bangga teman saya itu bilang, “Alhamdulillah lho. Meski pun saya ini tidak seberapa dekat dengan tetangga-tetangga tapi dari 70 orang yang saya undang yang datang 60 orang. Mereka rupanya menghargai undangan saya.” Wajahnya berseri-seri dan ia tampak bangga dengan dirinya. Saya ikut senang tentu saja. 😊
Ketika pulang istri saya yang mendengar sedikit lalu bertanya apa yang teman saya sampaikan tersebut. Begitu mendengarnya istri saya langsung ngomel, ”Ooo…gak tahu diri dia itu. Geer banget dia. Orang-orang datang ke pesta sunat anaknya itu karena menghargai dan menghormati istrinya, bukan dia. Istrinya itu sangat ramah, semua orang dianggapnya teman baik. Dia juga pemurah dan sangat suka membantu orang lain. Jadi orang juga sayang sama dia.”
Saya tercengang…. 😳
Apa yang disampaikan istri saya itu benar. Kami kenal baik keduanya dan harus saya akui bahwa istri teman saya itu memang baik, dermawan, dan suka sekali memberi dan membantu orang lain. Agak beda dengan teman saya yang selalu tampak bermuka masam dan irritated itu. Jadi jika orang-orang datang ke pestanya itu tentulah karena faktor kebaikan istrinya itu dan bukan karena menghormati teman saya. Tentu saja ada sebagian dari undangan yang datang karena faktor berteman baik dengan si suami. Tapi saya setuju dengn istri saya bahwa sebagian besar dari undangan yang datang kemungkinan besar adalah karena faktor si istri. Seandainya istri saya tidak menyampaikan perspektif ini maka saya mungkin juga akan membenarkan kegeeran teman saya tersebut. 😁
Tampaknya saya harus belajar dari kasus ini agar saya tidak merasa kegeeran. Siapa tahu orang-orang yang menyapa dan tersenyum pada saya itu karena menghargai dan menghormati istri saya. Sementara saya mungkin mengira bahwa itu karena mereka menghormati saya. 😂
Surabaya, 7 Juni 2021.
Salam
Satria Dharma