Nahdlatul Ulama mengadakan Munas dan Konbes NU 2019 di Banjar Patroman, Jawa Barat, pada tanggal 27 Pebruari 2019. Ada beberapa isu penting yang dibahas tapi yang paling menyengat publik adalah hasil bahasan Bahtsul MasĂąil MaudlĆ«âiyah dalam di tema âNegara, Kewarganegaraan, Hukum Negara, dan Perdamaian.â Pada tema ini NU mengusulkan warga non-Muslim tidak disebut kafir.
Saya gembira sekali membaca ini. Luar biasa…! Inilah senyatanya kemenangan umat Islam dalam upaya membangun agamanya yang rahmatan lil alamin. Keputusan terhebat yang pernah kita lakukan. Dengan demikian kita melangkah ke dunia yang lebih toleran dan beradab terhadap umat lain. Ini sungguh patut kita syukuri..
Tapi anehnya justru banyak umat Islam dan bahkan daĂ dan ulama yang mengecam keputusan ini meski tidak melakukan tabayyun lebih dahulu. Mereka langsung mengecam dan menganggap bahwa keputusan tersebut adalah propaganda kaum sekuler liberal yang terus berusaha menyamakan semua agama dan keyakinan,â Seorang kyai dari Malang mengatakan bahwa hasil Munas NU itu sudah parah. Itu seolah hendak mengamandemen Alquran sebagai wahyu ilahi. Astagfirullah hal adzim…!
Di sini saya merasa sedihâŠ
Masih banyak da’i dan ulama yang berprasangka buruk bahwa para alim ulama NU ini mau mengubah aturan Allah. Naudzubillahi min dzalik…! Orang tidak paham yang dibumbui dengan rasa benci atau marah kadang bisa mengerikan kalau berprasangka buruk.
Keputusan tersebut bukankah bicara soal AKIDAH tapi bicara soal STATUS dalam keagamaan. Tapi oleh mereka yang tidak setuju dikiranya ini soal akidah. Bukan sama sekali.
Jelas sekali bahwa banyak orang yang TIDAK PAHAM dengan keputusan tersebut. NU menghimbau agar kita tidak menyebut orang yang BUKAN MUSLIM dengan kata KAFIR. NU menghimbau agar kita menyebutnya NON-MUSLIM. Ini untuk membedakan STATUS KEAGAMAAN dan bukan bicara AKIDAH-nya. Jadi sama sekali bukan mau MENGGANTI kata kafir menjadi non-muslim. Itu sama sekali jauh dari apa yang dibahas. Tapi menyedihkannya mereka tidak paham tapi ngotot dengan kesalahpahaman tersebut.
Perlu diketahui dan dipahami bahkan di Arab Saudi, tempat asal bahasa Arab dan agama Islam mereka juga disebut sebagai NON-MUSLIM dan tidak disebut KAFIR dalam urusan STATUS KEAGAMAAN. Lihat papan nama di jalan-jalan menuju Makkah dan Madinah. Itu tidak bicara soal AKIDAH tapi STATUS KEAGAMAAN yang dianut.
Kalau soal akidah bisa-bisa kita yang MENGAKU MUSLIM tapi sebenarnya KAFIR di mata Allah.
ANTARA ILMU DAN ADAB
Apa yang diputuskan itu adalah hasil Musyawarah Nasional para alim ulama dan bukan keputusan individu. Semuanya telah melalui pembahasan yang sangat ketat dan mendalam. Mereka yang memutuskan ini adalah para alim ulama yang telah membaca ratusan ribu halaman kitab fiqih, tafsir, hadist, aqidah dan tarikh.
Kita harus percaya bahwa ulama-ulama yang mengadakan konperensi tersebut memiliki keihlasan tinggi, kedalaman ilmu dan kehati-hatian dalam mengambil kebijakan membahas sebuah masalah. Forum mulia ini pasti menghasilkan keputusan terbaik dan paling maslahat bagi umat Islam mau pun bangsa berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah mereka pelajari. Tidak mungkin mereka akan mengeluarkan keputusan yang sembrono apalagi, seperti yang dituduhkan oleh orang yang tidak suka, bahwa mereka mengeluarkan keputusan tersebut karena tergiur oleh harta dunia. Naudzu billahi min dzalik.
Bagaimana mungkin kita bisa begitu suudzon pada mereka? Bagaimana mungkin ada ulama dan kyai yang begitu suudzon pada sesama ulama dan kyai?
Terminologi dalam kitab fikih kita ada Darul Islam dan Darul Kuffar. Sementara warga negara yang terdapat dalam Darul Islam ada beberapa sebutan:
1. Kafir Harbi, yaitu orang yang memerangi umat Islam dan boleh diperangi
2. Kafir Dzimmi, orang yang membayar jizyah untuk mendapatkan perlindungan. Tidak boleh diperangi.
3. Kafir Mu’ahad, orang yang melakukan perjanjian damai dalam beberapa tahun. Tidak boleh diperangi.
4. Kafir Musta’min, orang yang meminta perlindungan. Tidak boleh diperangi.
Yang dimaksud keputusan Munas NU bahwa Non Muslim di Indonesia tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut. Negara kita ini bukan negara Islam sehingga pengkategorian tersebut tidak tepat. Oleh sebab itu mereka disebut warga negara dalam nation state. Jadi sama sekali tidak ada hubungan dengan istilah Kafir i’tiqad atau kufur nikmat dll, apalagi sampai mengingkari adanya kalimat “Kafir” di dalam Al-Qur’an atau mengubah Surat Al-Kafirun menjadi Surat “Non Muslimin”. Itu sungguh jauh dari apa yang dibahas.
Jika ada ulama yang tidak setuju dengan keputusan ini maka mestinya mereka memiliki ADAB dengan pertama kali mendatangi para ulama yang memutuskan, bertanya, berdiskusi, menyampaikan pendapatnya, dan setelah itu silakan menyampaikan pendapat Anda yang berbeda. Bukan dengan spontan dan frontal langsung menolak dan mengejek keputusan tersebut. Seorang ulama yang alim dan tawadduk tentunya tidak akan menyampaikan pendapat yang berseberangan dengan kelompok ulama dan kyai lainnya sebelum melakukan tabayyun lebih dahulu. Apalagi kemudian menafsirkan dengan hal yang tidak sesuai dengan hasil keputusan para ulama dalam konferensi tersebut. Jadi jika ada ulama yang tidak sepakat dengan hasil konperensi dan munas tersebut maka sebaiknya mereka bertabayyunlah seperti yang selama ini mereka ajarkan kepada jamaahnya. Tunjukkanlah bagaimana sikap beradab kepada sesama ulama agar umat belajar dari Anda.
Apa sih sebenarnya perubahan yang terjadi jika kata âkafirâ tidak lagi disematkan pada ânon-muslimâ?
PRABOWO ITU MUSLIM DAN KELUARGANYA NON-MUSLIM
Anjuran NU agar kita menggunakan kata ‘non-muslim’ sebagai ganti kata ‘kafir’ dalam hubungan sosial sungguh tepat. Kita tidak selayaknya mencap orang lain yang bukan muslim sebagai kafir. Saya punya pengalaman untuk itu.
Suatu ketika dalam pertemuan ada seorang pendukung Jokowi yang mengritik Prabowo. Dengan menggebu-gebu dia bilang bahwa Prabowo itu berasal dari keluarga kafir dan sampai sekarang keluarganya masih kafir semua. Saya dengan spontan protes dan idak setuju dengan penggunaan kata ‘kafir’ tersebut. Keluarga Prabowo memang non-muslim tapi mereka tentulah bukan orang kafir, kata saya. Mereka orang-orang yang beragama dengan taat, meskipun bukan muslim. Mereka itu non-muslim. Tapi saya dibantah dengan alasan bahwa non-muslim itu ya kafir dan itu adalah firman Tuhan sendiri dalam Surat Al-Kafirun. Mosok Surat Al-Kafirun mau diganti menjadi Surat Al-Non-Muslimun, demikian alasannya.
Saya membantah dengan mengatakan bahwa keluarga Prabowo itu beragama Nasrani dan bukan orang kafir. Mereka di Alquran disebut ‘Ahli Al-Kitab’. Menyatakan bahwa keluarga Prabowo adalah keluarga kafir sangatlah tidak etis, tidak tepat, dan menyakitkan hati. Dan kami saling berbantahan.
Jadi bayangkan betapa senangnya hati saya bahwa mulai hari ini saya bisa sampaikan bahwa berdasarkan keputusan Munas NU yang disepakati oleh para alim ulama kita SEBAIKNYA TIDAK LAGI menyebut Prabowo berasal dari keluarga kafir dan semua keluarganya adalah kafir. Itu kurang ajar dan tidak beradab. Keluarga Prabowo adalah non-muslim dan di mata negara punya hak dan kewajiban yang sama dengan para muslim.
HANYA BAGI YANG MAU BERPIKIR
Pada zaman Nabi umat Islam DILARANG menikahi wanita-wanita musyrik/kafir tapi diperbolehkan menikahi wanita Ahli Kitab.
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Dan sungguh wanita budak yang muâmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimuâ [al-Baqarah/2:221]
Hal ini juga ditegaskan dengan firman Allah Subhanahu wa Taâala
âDan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafirâ [al-Mumtanah/ 60:10]
Sehingga setelah Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat ini Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu âanhu menceraikan dua istri beliau Radhiyallahu âanhu yang dinikahinya ketika masih musyrik.
Allah Azza wa Jalla mengecualikan larangan menikahi wanita ahli kitab dalam firman-Nya:
âPada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan kaum mukminat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundikâ. [al-MĂąidah/5:5]
Dari sini kita bisa melihat bahwa bahkan pada zaman Rasulullah orang-orang beragama Nasrani dan Yahudi tidak disebut sebagai kafir. Jadi bagaimana mungkin kita saat ini bisa dengan seenaknya menyebut mereka sebagai âkafirâ?
Mari kita menjauhi sikap dan prilaku mengafir-ngafirkan orang lain.
Surabaya, 3 Maret 2019