“Jangan keliru…” kata teman saya dalam sebuah percakapan. “Jangan sampai kita tidak paham yang mana ‘hablum minallah’ dan mana yang ‘hablum minannas’.”
“Opo maneh iki…” demikian kata saya dalam hati. Tapi teman yang satu ini seringkali punya pandangan-pandangan yang brilian dan ‘out of the box’ meski lebih sering slengekan.
“Maksudmu…?!”
“Hubunganmu dengan saya, dengan teman-teman ini, dengan tetanggamu, dengan anak bojomu, di Facebook, di WAG, dll disebut ‘hablum minannas’ alias hubungan dengan sesama manusia.” Ia berhenti sejenak untuk melihat ekspresi saya. Saya berusaha untuk tidak berkomentar apa pun.
“Kalau kamu salat, puasa, dzikir, bangun tengah malam untuk tahajud, Senin-Kemis, Sawalan, dll itu namanya ‘hablum minallah’. Jadi kamu berhubungan dengan Allah dengan ritual ibadah tersebut. Ngerti nggak…?!”
“Asem…” kata saya dalam hati, “Wis eruh…” kata saya. 😬
“Jadi sebetulnya kamu tidak perlu menunjuk-nunjukkan pada saya, teman-temanmu, tetanggamu, anak bojomu, teman-teman di FB dan WAG bahwa kamu barusan salat Dhuha, sedang berpuasa Senin-Kemis, kalau malam tahajud, apalagi sampai zikir kenceng-kenceng di masjid. Lha wong itu ‘hablum minallah’.”
Ia berhenti dan sedikit menyeringai. I hate that kind of expression. 😏
“Kalau kamu sebar-sebarkan ibadahmu itu di FB dan WAG, tunjuk-tunjukkan kalau kamu lemes gara-gara sedang berpuasa, tunjukkan jidatmu yang gosong embuh karena apa, maka sebenarnya kamu sedang riya’ dalam ibadahmu. Kamu mungkin dapat ‘wow’ dari manusia tapi gak ada pahalanya sama sekali di mata Tuhan.”
Arek iki sok tahu juga soal pahala dari Tuhan, kata saya dalam hati. 😐
“Lha yang penting bagi kamu, teman-teman, tetangga, perlu dishare di FB dan WAG opo lho…?!” tanya saya.
“Kalau kamu berupaya untuk membaikkan hubunganmu dengan Tuhan melalui salat, puasa, dzikir, dan lain-lain ibadah tesebut,maka perbaiki juga hubunganmu dengan manusia di sekitarmu. Caranya adalah dengan menunjukkan sikap dan prilaku terbaik yang bisa kamu berikan pada mereka. Selalulah tersenyum bila bertemu dengan mereka. Tegur dan sapalah mereka dengan perkataan yang lembut. Tolonglah mereka jika mereka membutuhkan. Tawarkan diri untuk membantu. Tunjukkan manfaatmu pada mereka. Nek aku utang yo utangono….” dan dia tertawa.
Hampir saja saya misuh tapi ekspresi mukanya tampak lucu kalau tertawa. Jadi saya misuh dalam hati saja.
“Jadi jangan keliru yo, Cak….” Ia kembali serius. “Gak usah cerita pada siapa pun kalau kamu poso Senin-Kemis, selalu melaksanakan salat Dhuha, suka salat jamaah di masjid, membaca zikir ini dan itu, sedekah kesana kemari, dll karena itu amalan untuk mendekatkan dirimu dengan Tuhan bukan untuk mendekatkan dirimu dengan manusia. Paham…?!”
“Nggih, Yai…” jawab saya menahan ketawa.
“Saiki aku utangono sewu ae. Aku onok perlu.” sambungnya sambil tertawa.
“Anjriiit….!” akhirnya keluar juga pisuhan saya. 😄
Surabaya, 26 Juni 2018