Karena sudah cukup lama mengkampanyekan pentingnya budaya baca berkeliling ke sana kemari maka saya punya cukup banyak cerita tentang upaya penumbuhan budaya baca. Ada dua kisah yang hendak saya sampaikan.
KISAH 1.
Seorang teman yang hanya bertemu di dunia maya menghubungi saya dan menyatakan sangat tertarik untuk ikut membudayakan literasi. Ia bertanya bagaimana caranya agar ia bisa menjadi pegiat literasi.
“Mulai saja di rumah Anda dengan buku seadanya,” jawab saya. “Panggil anak-anak tetangga untuk mendengarkan cerita dari buku yang Anda bacakan. Semua anak suka cerita.” tambah saya.
Jadi ia pun memulai ‘karir’nya sebagai pegiat literasi dengan mengundang beberapa anak di sekitarnya dengan membacakan cerita-cerita pada mereka setiap hari. Anak-anak menyukainya (tentu saja). Ia memulai dengan sekitar 5 – 6 anak dengan belasan buku dan terus bertambah.
“Sekarang saya punya Taman Bacaan Masyarakat dengan sekitar empat ratusan buku,” katanya. “Setiap hari saya melayani atau menerima rata-rata 50-an anak yang datang untuk membaca, meminjam buku, dan mendengarkan cerita.”
Wow…!
Berapa lama ia melakukan ini? Sekitar dua tahunan.
KISAH 2
Seorang kepala sekolah di Surabaya tertarik dengan kampanye saya tentang Gerakan Literasi Sekolah dan menyatakan ingin menjadikan sekolahnya sebagai sekolah berbasis literasi. Kisahnya bisa dibaca di https://satriadharma.com…/sekolah-berbasis-literasi-smpn-4…/
Sekarang setiap hari siswanya melakukan kegiatan membaca selama 15 menit secara rutin dan mereka telah menerbitkan dua buah buku hasil karya mereka sendiri.
Wow…!
Berapa lama ia melakukan hal ini? Belum ada setahun.
Apa yang mereka lakukan untuk bangsa dan masa depan anak-anak adalah luar biasa. Sang Pegiat Literasi dengan keterbatasannya berhasil membuat anak-anak di lingkungannya menjadi gemar membaca dan Pak Kasek dengan kewenangannya sebagai kepala sekolah berhasil membuat siswa dii sekolahnya membaca dan menulis setiap hari.
Tapi saya mau bicara tentang skala…
Dalam dua tahun Sang Pegiat Literasi berhasil membuat 50 anak membaca setiap hari dan Pak Kasek dalam waktu kurang dari setahun berhasil membuat 700 anak membaca dan menulis setiap hari. Jika kita bicara soal skala maka Pak Kasek berhasil membuat anak membaca (dan menulis) 1400% atau 14 X lipat lebih banyak daripada Sang Pegiat Literasi.
Apa yang hendak saya sampaikan pada posting saya kali ini?
Jika kita bisa mempengaruhi seorang kepala sekolah untuk menggerakkan sekolahnya membaca dan menulis sesuai dengan Permendikbud 23/2015 maka itu setara dengan menggerakkan 14 orang pegiat literasi yang tidak punya sekolah dengan waktu yang lebih singkat…!
Mana menurut Anda yang lebih mudah, menggerakkan seseorang untuk menjadi Pegiat Literasi atau menggerakkan seorang kepala sekolah untuk melaksanakan Permendikbud 23/2015?
Menurut Anda, untuk ukuran bangsa mana yang lebih strategis, menciptakan gerakan-gerakan literasi berbasis masyarakat atau berbasis sekolah? Mana yang lebih mendatangkan efek massif…?!
Kemendikbud memang seharusnya lebih memfokuskan upayanya dalam pengembangan literasi di sekolah dan bukan di masyarakat. Ada 50-an juta siswa di sekolah pada ratusan ribu sekolah yang bisa digerakkan dengan KEWENANGAN yang dimilikinya.
Kemdikbud, 30 Oktober 2015
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Really inspiring, Sir.