Tahukah Anda bahwa ada tragedi di dunia pendidikan yang sangat tragis dan sudah berlangsung selama 63 tahun tanpa pernah ada satu pun Presiden, Menteri Pendidikan, Dinas Pendidikan yang pernah berupaya untuk menghentikannya?
Tahukah Anda mengapa mutu pendidikan kita (dalam test uji mutu pendidikan internasional seperti PISA, PIRLS, TIMMS, dll ) selalu jeblok jika dibandingkan dengan mutu pendidikan bangsa lain meski pun anggaran pendidikan kita sudah jauh meningkat dibandingkan tahun-taun sebelumnya)?
Tahukah Anda mengapa bangsa Indonesia sampai saat ini dianggap TIDAK MEMILIKI BUDAYA MEMBACA (dan kalah dengan bangsa Vietnam yang baru saja merdeka setelah hancur lebur berperang dengan Amerika)?
Tragedi itu menurut Taufik Ismail disebut : TRAGEDI NOL BUKU.
Apa itu Tragedi Nol Buku? Tragedi Nol Buku adalah :
TERLANTARNYA KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA.
Selama 63 tahun sampai saat ini kita telah menelantarkan bukan hanya KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA di sekolah-sekolah kita, tapi bahkan MENELANTARKAN KEWAJIBAN MEMBACA di sekolah-sekolah kita. Kita tidak lagi MEWAJIBKAN siswa-siswa kita untuk membaca lagi. Membaca TURUN DERAJATNYA dengan menjadi SEKEDAR ANJURAN, HIMBAUAN, AJAKAN. Padahal kita semua tahu bahwa MEMBACA ADALAH PERINTAH PERTAMA yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad bagi umat Islam. Tapi kita telah menurunkan derajat pentingnya membaca dari WAJIB menjadi ‘SUNNAH’.
Mengapa disebut TRAGEDI?
Taufik Ismail melakukan penelitian tentang KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA di SMA di 13 negara pada Juli-Oktober 1997. Ia melakukan serangkaian wawancara dengan tamatan SMA 13 negara dan bertanya tentang
1) kewajiban membaca buku,
2) tersedianya buku wajib di perpustakaan sekolah,
3) bimbingan menulis dan
4) pengajaran sastra di tempat mereka.
Berikut ini tabel jumlah buku sastra yang wajib dibaca selama di SMA bersangkutan (3 atau 4 tahun), yang tercantum di kurikulum, disediakan di perpustakaan sekolah, dibaca tamat lalu siswa menulis mengenainya, dan diuji:
Buku Sastra Wajib di SMA 13 Negara
NO
|
ASAL SEKOLAH
|
BUKU
|
NAMA SMA/KOTA
|
TAHUN WAJIB
|
1.
|
SMA Thailand
|
5 judul
|
Narathiwat
|
1986-1991
|
2.
|
SMA Malaysia
|
6 judul
|
Kuala Kangsat
|
1976-1980
|
3.
|
SMA Singapura
|
6 judul
|
Stamford College
|
1982-1983
|
4.
|
SMA Brunei Darussalam
|
7 judul
|
SM Melayu I
|
1966-1969
|
5.
|
SMA Rusia Sovyet
|
12 judul
|
Uva
|
1980-an
|
6.
|
SMA Kanada
|
13 judul
|
Canterbury
|
1992-1994
|
7.
|
SMA Jepang
|
15 judul
|
Urawa
|
1969-1972
|
8.
|
SMA Internasional, Swiss
|
15 judul
|
Jenewa
|
1991-1994
|
9.
|
SMA Jerman Barat
|
22 judul
|
Wanne-Eickel
|
1966-1975
|
10.
|
SMA Perancis
|
30 judul
|
Pontoise
|
1967-1970
|
11.
|
SMA Belanda
|
30 judul
|
Middleberg
|
1970-1973
|
12.
|
SMA Amerika Serikat
|
32 judul
|
Forest Hills
|
1987-1989
|
13.
|
AMS Hindia Belanda A
|
25 judul
|
Yogyakarta
|
1939-1942
|
14.
|
AMS Hindia Belanda B
|
15 judul
|
Malang
|
1929-1932
|
15.
|
SMA Indonesia
|
0 judul
|
Di mana saja
|
1943-2005
|
Catatan: Angka di atas hanya berlaku untuk SMA responden (bukan nasional),dan pada tahun-tahun dia bersekolah di situ (bukan permanen). Tapi sebagai pemotretan sesaat, angka perbandingan di atas cukup layak untuk direnungkan bersama. Apabila buku sastra
1) tak disebut di kurikulum,
2) dibaca cuma ringkasannya,
3) siswa tak menulis mengenainya,
4) tidak ada di perpustakaan sekolah, dan
5} tidak diujikan, dianggap nol.
Ternyata hasil penelitiannya sungguh mengejutkan! Siswa SMA Indonesia TIDAK WAJIB MEMBACA BUKU SASTRA SAMA SEKALI (atau nol buku) sehingga dianggap sebagai siswa yang BERSEKOLAH TANPA KEWAJIBAN MEMBACA..
Angka NOL BUKU untuk SMA Indonesia sudah berlaku 63 tahun lamanya, dengan perkecualian luarbiasa sedikit pada beberapa SMA swasta elit saja.
Taufik Ismail kemudian mengajak kita berefleksi sebagai berikut :
“… Sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib baca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan)? NOL BUKU.
Tapi kita tahu 3 puisi Chairil Anwar (” Aku”, “Krawang-Bekasi”, “Senja di Pelabuhan Kecil”), kenal jalan cerita novel Layar Terkembang, dan pernah dengar-dengar Rendra lahir di kota mana gerangan. Dengan kriteria di atas, kita seharusnya tamat 72 puisi dan 7 prosa Chairil (bukunya Derai-derai Cemara setebal 132 halaman), baca tamat Layar Terkembang (bukan tahu plotnya karena baca sinopsisnya), dan baca tamat kumpulan puisi Balada Orang Tercinta.
Di SD kita diberi tahu tentang awalan, sisipan dan akhiran. Di SMP kita dilatih menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Di SMA kita diperiksa menggunakan awalan, sisipan dan akhiran. Sastra diajarkan dalam definisi-definisi, seperti ilmu fisika, dalam rumus-rumus, mirip ilmu kimia.
Latihan mengarang mendekati NOL KARANGAN. Rejim Linguistik menguasai pelajaran bahasa dan sastra lebih dari setengah abad lamanya. Siswa tidak diberi kesempatan berenang di danau kesusastraan dengan nikmatnya.
Siswa AMS WAJIB MENULIS KARANGAN SATU KARANGAN SEMINGGU. Karangan disetor, diperiksa guru, diberi angka. Panjang karangan satu halaman. Jumlahnya 36 karangan setahun, 108 karangan 3 tahun. Ketika mereka masuk universitas, tugas menulis makalah dan skripsi dilaksanakan dengan merdu dan lancar.
Kewajiban menulis karangan di SMA kini antara 1 kali setahun (mirip shalat Idulfitri) sampai 5 kali setahun (pastilah di SMA favorit yang mahal itu).
Dibanding dengan AMS, yah, sekitar 5,2 persen. Ratusan ribu siswa pasti pernah menulis karangan dengan judul “Cita-citaku” dan “Berlibur di Rumah Nenek.”
Tragedi Nol Buku ini hampir tidak masuk akal bila kita mendapatkan fakta bahwa siswa Algemene Middelbare School (SMA zaman Belanda dulu) Yogya wajib baca 25 buku sastra dalam waktu 3 tahun, tak jauh di bawah SMA Forest Hills (New York), di atas SMA Wanne-Eickel (Jerman Barat) hari ini.
Superioritas AMS Hindia Belanda itu jadi luar biasa karena 25 buku itu dalam 4 bahasa, yaitu Belanda, Inggeris, Jerman dan Perancis (responden Rosihan Anwar, 1997).
Tragedi Nol Buku ini berlangsung pada awal 1950. Ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya di tangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan, yang mesti membangun jalan raya, bangunan, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian, maka yang diunggulkan dan disanjung adalah jurusan eksakta (teknik, kedokteran, pertanian, farmasi), ekonomi dan hukum. Wajib baca 25 buku sastra digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Ini kesalahan peradaban luar biasa besar. Ketika saya perlihatkan hasil observasi (dalam tabel) itu kepada Menteri Wardiman Djojonegoro (1997), beliau terkejut.
“Sudah demikian burukkah keadaannya?” tanyanya. “Ya,” jawab saya. Mari kita kilas balik ke tahun 1942-1945, dan kita dengar apa kata Asrul Sani (1999):
Kelompok sastrawan masa itu (pendudukan Jepang) gila membaca. Buku-buku orang Belanda, yang diinternir Jepang, banyak diloakkan di Pasar Senen, sehingga asal rajin ke sana, banyak bisa memperoleh karya sastra dunia, di samping buku-buku sastra Belanda. Rivai Apin, Idrus juga tukang baca.
Idrus fanatik pada IIya Ehrenburg …Di Jalan Juanda dulu ada dua toko buku. Toko buku Van Dorp, yang sekarang jadi kantor Astra, dan toko buku Kolff. Koleksinya luar biasa. Saya dan Chairil Anwar suka juga mencuri buku di sana.
Tapi kewajiban baca 25 buku itu tidak bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Tidak. Sastra cuma medium tempat lewat. Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum.
Seorang Anak Baru Gede di tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta. Seorang siswa yang sepantaran dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka iImu politik, sosial dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.
Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. “Jiwa saya merasa haus kalau saya tak baca buku,” kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup.
Tragedi Nol Buku ini, yang sudah berlangsung 55 tahun lamanya (ditulis tahun 2005, berarti sekarang sudah 63 tahun) dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA NOL BUKU sejak 1950 (saya tak sempat menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang); mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini, dengan rentang umur antara 35 – 70 tahun….”
Menurut Hernowo siswa-siswa Rusia membaca karya-karya Leo Tolstoy, Pastovsky and Simonov, raksasa sastra dunia. Siswa-siswa Rusia mengenal karya-karya luhur pusakan sastrawan negeri mereka sejak umur SMA dan mereka sangat menikmati pencerahan kecendikiaan sebagai generasi muda sebua bangsa besar. HAL INI TIDAK TERJADI DI INDONESIA. Kurikulum Bahasa Indonesia telah memblokir karya-karya Hamzah Fansuri hingga Rendra dan Wisran Hadi. Kurikulum kita tidak PRO MEMBACA DAN MENULIS apalagi PRO SASTRA!
RISET MINAT BACA
“TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Itet Tridajajati Sumarijanto, menyarankan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang ) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk melakukan riset terkait menurunnya minat membaca pada anak Indonesia….”
Untuk apa sebenarnya penelitian tentang riset minat baca ini…?! Tanpa penelitian apa pun kita akan tahu bahwa kemampuan siswa kita dalam membaca PASTI rendah.
Jelas bahwa siswa kita tidak DIWAJIBKAN membaca dan sekolah juga tidak punya buku bacaan. Lalu apa ya mungkin kemampuan membaca anak–anak kita menjadi tinggi…?!
Ini sama dengan membuat penelitian ‘kemampuan berenang’ pada anak pegunungan yang tidak pernah melihat kolam renang dan juga tidak pernah nyemplung ke sungai. Setelah itu (tentunya) kita akan tiba pada kesimpulan bahwa anak-anak yang tinggal di lereng Bromo dan Panderman ternyata ‘kemampuan berenang’nya rendah…! Apa gunanya penelitian ini…?!
Untuk apa penelitian semacam itu jika tidak ada tindak lanjutnya dengan mengajari anak-anak membaca dan memberi mereka buku-buku bacaan untuk dibaca dan pada akhirnya kita wajibkan mereka untuk terus membaca (sebagaimana kita mewajibkan anak-anak kita sholat) agar bangsa kita memiliki BUDAYA MEMBACA…?!
Apakah KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN yang memiliki RATUSAN staf bergelar master dan profesor doktor masih TIDAK PAHAM akan masalah dan tragedi pendidikan yang kita hadapi ini?
Mestinya Kemdikbud paham soal BUDAYA MEMBACA karena namanya saja Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi mestinya mereka tahu bagaimana betapa rendahnya budaya membaca anak-anak Indonesia dan MESTINYA mereka mengerahkan segala kemampuan mereka untuk menumbuhkan dan meningkatkan Budaya Membaca ini.
Seberapa penting membaca itu? MEMBACA MERUPAKAN SALAH SATU FUNGSI YANG PALING PENTING DALAM HIDUP. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Demikian kata Glenn Doman dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read (1991 : 19). Dengan kemampuan membaca yang membudaya dalam diri setiap anak, maka tingkat keberhasilan di sekolah maupun dalam kehidupan di masyarakat akan membuka peluang kesuksesan hidup yang lebih baik. Farr (1984) menyebutkan “Reading is the heart of education” MEMBACA ITU JANTUNGNYA PENDIDIKAN. Meski berotot kawat dan bertulang besi kalau jantungnya lemah ya tidak ada gunanya. Membaca merupakan batu loncatan bagi keberhasilan anak di sekolah dan dalam kehidupan selanjutnya kelak dalam masyarakat. Tanpa kemampuan membaca yang layak, keberhasilan di sekolah lanjutan dan di perguruan tinggi adalah tidak mungkin. Begitu pentingnya kegiatan membaca ini sehingga berdasarkan penelitian Baldridge (1987), manusia modern dituntut untuk membaca tidak kurang dari 840.000 kata per minggu. Itu sebabnya Allah memerintahkan umat Islam untuk MEMBACA.
Tidak ada cara lain untuk membentuk Budaya Membaca ini selain dengan menjadikan MEMBACA SEBAGAI KEWAJIBAN (sebagaimana umat Islam diwajibkan untuk sholat lima kali dalam sehari). Membaca itu memang sebuah kewajiban bagi umat Islam dan bukan sekedar anjuran atau himbauan. Membaca adalah perintah Tuhan yang Pertama dan sekaligus Utama bagi umat Islam. Bahkan perintah sholat turun jauh sesudah Perintah Membaca (Perintah Membaca adalah Ayat Pertama yang turun sedangkan perintah sholat baru turun setelah Nabi Muhammad mi’raj).
Tentu saja anak-anak kita harus dilatih sedikit demi sedikit, pelan-pelan dan dengan cara yang menyenangkan dengan metode yang tepat sejak masih balita untuk membaca. Pertama mereka dibacakan buku, diajari abjad, diberi buku-buku bergambar, diberi buku-buku cerita dengan bahasa sederhana, dan seterusnya. Tapi kita harus sampai pada tujuan bahwa MEMBACA ADALAH KEWAJIBAN yang jika kita tidak lakukan maka berarti kita tidak memenuhi PERINTAH TUHAN sebagaimana kita merasa kalau tidak sholat.
Artikel panjang ini saya tulis dengan tujuan untuk saya sebarkan pada semua orang khususnya pada para pejabat di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, baik di Pusat, Propinsi, maupun Kota/Kabupaten agar mereka mau menerapkan kebijakan WAJIB BACA pada anak-anak kita.
Mari kita hentikan Tragedi Nol Buku dan mulai MEWAJIBKAN SISWA-SISWA KITA UNTUK MEMBACA sebagaimana siswa-siswa bangsa lain. Keengganan kita untuk menerapkan kewajiban baca ini sehingga membuat anak-anak kita tidak memiliki BUDAYA MEMBACA akan menjadi dosa-dosa yang harus kita pertanggungjawabkan kelak di akhirat.
Surabaya, 16 Januari 2014
Catatan :
Tulisan ini saya buat khusus untuk dua teman saya Dr. Ikhsan S.Psi.MM, Kepala Dinas Pendidikan Kota Surabaya dan Ibu Arini Pakistianingtyas, Kepala Badan Arsip dan Kepustakaan Kota Surabaya. Mereka adalah pejabat kota Surabaya yang sangat inspiratif dan memiliki komitmen yang tinggi pada tugasnya.
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Kalau jaman dahulu kita tidak pernah baca buku karena kita miskin dan tidak mampu membeli buku, tapi sekarang kita tidak baca buku karena sibuk membaca gadget, karena memang harganya terjangkau oleh siapa saja, social network, facebook dan sejenisnya lebih menarik dibanding buku sastra ataupun buku tentang ilmu pengetahuan. Barangkali ini yang disebut pembodohan melaui novus ordo seclorum, tatanan dunia baru, imperialisme modern, karena memang itu tujuan kaum zionis seperti yang tertera dalam protokolat yahudi.
Saya setuju dgn pa Taufiq Ismail. Tragedi itu sedang berlangsung terus di negeri sampai pemberlakuan kurikulum 2013. Kurikulum BI 2013 sangat mwnonjolkan pembelajaran berbasis teks. Hanya saja tidak disetting dlm kurikulum tersebut waktu khusus utk peserta didik membaca di Perpustakaan sebagai suatu kebiasaan (habit). Harus ada satu hr khusus utk membaca di perpustakaan. Hal ini dimulai dr SD-PT. Semoga para pakar pencetus kurikulum 2013 menyadari akan hal yang kecil ini.
Semampunya akan dicoba untuk tidak nol buku. Dimulai dari nol koma satu, membaca 2 buku untuk diri sendiri dan keluarga. Tulisan yang sederhana tapi menyadarkan betapa membaca itu adalah hal kecil yang bisa menghasilkan sesuatu yang jauh lebih besar.
Iya yah, betul juga. Dari dulu waktu SD sampai SMA, saya tidak dididik untuk senang membaca, saya hanya dididik untuk menjawab soal UN, cara cepat, trik cepat, ini itu. Akhirnya saya akui saya kurang membaca.
Walaupun sekarang saya mulai senang membaca, tapi saya belum kecanduan. Saya masih bisa tidak membaca buku, masih sering malas. Begitu pula dengan menulis.
Ayo kita mulai membaca dan menulis, hidup sastra yeeaaaaa…!!!!
saya pernah menuliskan pemikiran saya mengenai buruknya kualitas pembelajaran bahasa indonesia. padahal saat itu saya baru dua bulan lulus dari smk.
untuk minat baca, saya harus berterima kasih pada keingintahuan saya yang luar biasa besar. sehingga saya tidak perlu “dipaksa” membaca.
dan, masa-masa keemasan minat baca saya terjadi hanya selama sekitar dua tahun, saat akhir kelas 4 sampai akhir kelas 6 sd. itu pun karena saya “menemukan” perpustakaan sd tempat saya pindah terbengkalai. membuat saya leluasa keluar-masuk perpus dan meminjam buku sesuka hati. setelahnya (di smp, smk), kembali saya harus gigit jari karena sedikitnya bahan bacaan. faktor yang pada akhirnya sedikit-banyak mengubah model membaca saya.