Pada tahun 2005 (itu 12 tahun yang lalu) jumlah kabupaten telah berlipat ganda hampir dua kali karena pemekaran daerah. Dan ini menjadikan negeri ini menjadi Negeri Birokrasi. Semakin besar birokrasi maka akan semakin besar pula uang rakyat yang harus digunakan untuk membiayai para birokrat (Ya. Jika Anda bekerja di pemerintahan maka Anda termasuk birokrat yang dibiayai oleh uang rakyat dengan gaji, bonus, dan berbagai pengeluaran kantor Anda). Pemekaran daerah artinya pembengkakan dan penghamburan biaya pengeluaran negara.
(Lalu apa manfaat pemekaran daerah ini selain memberi pekerjaan dan penghasilan pada para politisi yang kebanyakan tidak jelas tugasnya? Dengan dalih pemekaran daerah anggaran negara disedot untuk pengeluaran urusan birokrasi. Itu sebabnya pekerjaan politisi menjadi menggiurkan karena siapa saja bisa menjadi politisi dan para politisi ini biasanya justru akan memegang kekuasaan untuk menggunakan uang rakyat melalui berbagai aturan birokrasi.)
Dan ingat, semakin besar birokrasi, baik pusat mau pun daerah, akan semakin menyulitkan rakyat dan semakin membuka peluang untuk korupsi. Setiap pembesaran kekuasaan di tangan pemerintah maka potensi korupsi akan naik secara sebanding.
Apakah pengawasan yang berlapis dan bertindih akan mengurangi korupsi? Tidak juga. Apalagi kalau hasil pemeriksaan dari satu instansi dengan instansi yang lain berbeda.
Lalu bagaimana solusinya?
Menurut Marāie Muhammad kita mesti membangun sistem perpajakan dan sumber penerimaan negara yang pro-bisnis dan memberi kepastian pada bisnis serta masyarakat. Tekan ketidakpastian dan berbagai interpretasi peraturan yang membuka peluang bagi aparat pemerintah untuk bermain. (Revolusi dalam Keuangan Negara, Jakarta 19 Maret 2005). Bagaimana sumber penerimaan yang pro-bisnis itu dijelaskannya dalam artikelnya yang lain.
Mari kita lihat fakta saat ini.
Di era reformasi birokrasi diharapkan birokrasi semakin efisien dari sisi struktur maupun biaya. Namun faktanya, belanja pegawai terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan belanja lebih banyak dinikmati oleh alokasi pegawai. Di 302 daerah, belanja pegawai menghabiskan lebih dari 50 persen anggaran. Bahkan di 11 daerah di antaranya belanja pegawai mencapai 70 persen (APBD). (Sumber dari Kementerian Keuangan). Celakanya, tunjangan besar bagi PNS itu tidak menjamin perbaikan pelayanan publik. Kalau Anda protes biaya tol naik terus padahal tidak ada perbaikan pelayanannya maka sebenarnya hal yang sama terjadi pada penggunaan APBD kita.
Artinya inefisiensi semakin menggila. Pendapatan negara ini larinya hanya untuk membiayai para pegawai pemerintah sedangkan untuk pembangunan yang akan dinikmati rakyat itu sendiri sangat sedikit. Itu pun masih dikorupsi di sana-sini. Hebatnya para pegawai pemerintah ini tidak mau tahu soal ini dan yang penting ingin kenaikan gaji terus dan menghabiskan anggaran negara. (Saya punya cerita yang lebih serem pada pengelolaan keuangan BUMN. Tapi mungkin kali lain kalau saya ada mood).
Apa tujuan saya menulis ini?
Pertama, sebagai catatan dari apa yang saya baca dari buku Marāie Muhammad. Banyak hal menarik dan perlu dipahami oleh masyarakat yang ditulis oleh beliau. Apa yang disampaikan sebenarnya memang bukan hal baru karena ini sudah ditulisnya sejak tahun 2005. (Sebagai perbandingan, Taufik Ismail sudah menyampaikan āāTragedi Nol Bukuā sejak tahun 1997 di jaman Mendiknasnya Pak Wardiman, dan toh sampai saat ini belum ada perubahan yang dilakukan. Sampai hari ini anak-anak kita masih belum juga diwajibkan untuk membaca karya sastra. Padahal faktanya sudah disodorkan 20 tahun yang lalu lho!)
Kedua, ini saya sampaikan sebagai pengingat bagi para birokrat dan para pegawai negeri (termasuk polisi dan tentara) yang membaca posting saya ini. Ingat bahwa Anda digaji dari uang pajak rakyat dan jika Anda tidak bekerja dengan sebaik-baiknya maka ingatlah bahwa Anda akan harus mempertanggungjawabkan itu semua kelak di akhirat.
Saya hanya mengingatkan, bukan mengancam. Yang mengancam itu Tuhan.
Surabaya, 6 September 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com