Selama ini saya selalu kesulitan menjawab jika ditanya sudah berapa banyak buku yang saya tulis. Masalahnya saya memang tidak pernah menghitungnya.
Saya sebenarnya sudah menulis buku sejak masih mengajar di bimbingan belajar ASG yang saya dirikan pada pertengahan tahun 80-an. Karena siswa bimbingan belajar perlu buku teori dan latihan dalam mengerjakan soal-soal ujian maka saya membuat bukunya sendiri dan menerbitkannya. Kebetulan kami punya percetakan kecil sendiri sehingga buku-buku itu saya terbitkan sendiri dan saya jadikan buku pegangan bagi para guru bahasa Inggris lainnya juga. Saya juga sempat menjualnya di toko-toko buku dan ke sekolah-sekolah. Lumayan laris sebenarnya. Tapi pekerjaan menulis dan menerbitkan buku itu saya hentikan begitu saya keluar dari bimbingan belajar dan mengajar di Bontang International School. Sayang sekali bahwa saya tidak menyimpan barang sebiji buku-buku tersebut sebagai kenang-kenangan.
Kemarin ketika diwawancarai oleh sebuah majalah kampus saya ditanyai lagi berapa buku yang sudah saya tulis. Ini membuat saya juga penasaran dan akhirnya kemarin saya kumpulkan buku yang pernah saya tulis dan terbitkan. Ternyata ada 10 buku saya yang sudah diterbitkan dan akan segera terbit lagi buku ke 11. Berikut ini adalah buku-buku tersebut.
1. Dari Guru Konvensional ke Guru Profesional. Ini adalah buku pertama saya hasil menulis keroyokan bersama Dr. Indra Djati Sidi dan Achmad Rizali M.Sc. Buku ini diterbitkan oleh PT Grasindo pada tahun 2009 dan tebalnya 246 halaman. Buku ini banyak bercerita tentang kegiatan kami bersama dalam membangun Klub Guru Indonesia (KGI) yang nantinya berubah menjadi Ikatan Guru Indonesia (IGI). Pesan yang hendak kami sampaikan dalam buku ini adalah ajakan kepada seluruh komponen pendidikan, khususnya guru, untuk mau mengembangkan diri dan meninggalkan pola pembelajaran yang konvensional menuju pembelajaran yang profesional. Buku ini juga ajakan bagi guru untuk mengambil inisiatif dalam membangun kompetensi dan profesionalisme mereka sendiri tanpa harus bergantung pada pemerintah. Pemerintahlah yang seharusnya bergantung pada guru dan bukan sebaliknya.
Buku ini tidak melulu bicara tentang guru. Beberapa masalah pendidikan pun kami ungkapkan dengan bahasa otokritik, baik yang halus mau pun tegas. Kami menulis mulai masalah sekolah menengah kejuruan, ujian akhir nasional (UNAS), pentingnya budaya membaca, hingga sekolah bertaraf internasional. Semuanya disajikan dalam paparan yang bertujuan untuk memberi wawasan tentang duni pendidikan Indonesia dan ajakan untuk membangun dan membangkitkan semangat para guru. Sayang sekali saya sudah tidak punya kopi dari buku ini karena buku yang saya miliki diminta oleh teman-teman dan buku ini sudah tidak tersedia di toko buku lagi.
2. For The Love of Reading and Writing. Ini buku pertama saya yang saya terbitkan sendiri dan saya jadikan hadiah ultah saya bagi teman-teman pada Desember 2011. Tebalnya lumayan yaitu 481 halaman. Buku ini editornya Mas Eko Prasetyo, yang waktu itu masih bekerja di Jawa Pos, dan tata letaknya dikerjakan oleh Mas Rohman.
Saya mendapat ide untuk membukukan tulisan-tulisan saya karena teringat bahwa saya sudah menulis lebih dari 100 artikel di web. Saya berpikir mungkin ada baiknya jika bisa dibukukan dan bisa dibaca oleh teman-teman saya yang tidak sempat dan tidak punya waktu mengunjungi web saya. Sejak kali pertama saya rilis, web saya di https://satriadharma.com dan http://satriadharma.wordpress.com/ telah dikunjungi oleh ratusan ribu pengunjung.
Dari situlah saya berpikir mencetaknya jadi buku untuk suvenir bagi teman-teman saya. Saya ingin membukukannya meski tidak berminat menjualnya. Pertama, saya tidak tertarik untuk cari uang dari menjual tulisan-tulisan saya di web. Saya memang tidak pernah tertarik untuk cari uang dari menulis buku atau artikel. Kedua, saya juga tidak tertarik untuk mendapatkan popularitas dengan mengomersialkan tulisan-tulisan saya. Tulisan-tulisan saya sepenuhnya adalah ekspresi diri yang perlu saya tuangkan agar tidak sekadar menjadi kelebatan pikiran yang kemudian hilang.
Jika sebelum ini saya menulis di blog (dan di jurnal pribadi), sekarang saya ingin mencetaknya dalam sebuah buku. Saya ingin merayakan apa yang telah saya capai dari menulis selama ini dan saya ingin membagikannya kepada teman-teman terbatas. Saya akan merayakannya dengan membuat buku kumpulan tulisan saya ini dan kemudian akan saya bagi-bagikan kepada teman-teman dekat pada saat saya berulang tahun. Something to remember at my birthday.
Beberapa teman memberikan komentarnya tentang saya di buku tersebut. Di antaranya adalah Dhitta Puti Saraswati, Habe Arifin, Mampuono, Setyo Purnomo, dan Gagus Ketut (waktu itu baru mau berangkat untuk S2 di Osaka Jepang dan sekarang sudah menyelesaikan PhD-nya di Jepang dan mulai bekerja sebagai Postdoctoral Researcher di National University of Singapura).
3. Twenty Years of Joy and Happiness. Ini buku berikutnya yang saya terbitkan pada akhir tahun 2012. Tebalnya 430 halaman. Desain dan kompugrafisnya masih tetap Mas Abdur Rohman sedangkan pencetakannya di PT Revka Petra Media.
Saya persembahkan buku ini sebagai rasa syukur saya pada Tuhan yang telah melimpahkan begitu banyak berkah dan karunia dalam kehidupan saya. Salah satunya adalah dua puluh tahun pernikahan yang penuh dengan kebahagiaan dan kegembiraan. Pada usia ini saya juga sudah berhenti mencari nafkah karena sudah punya penghasilan tetap dari usaha saya sebelumnya. Judul ini terinspirasi ketika sehari sebelum ultah perkawinan kami istri saya mengingatkan bahwa besok adalah hari ultah penikahan kami yang kedua puluh. Dua puluh tahun…?! Rasanya kok baru saja ya…?! Dan kami pun tertawa berderai-derai. Tentu saja usia pernikahan kami sudah dua puluh tahun lha wong anak sulung kami saja sudah berusia 19 tahun waktu itu. Ia bahkan sudah kuliah saat itu (sekarang ia sudah bekerja di Bali). Tapi kemesraan dan kehidupan kami berdua begitu indah sehingga waktu terasa melintas dengan cepat dan ‘bum…!’ tiba-tiba saja kami sudah hidup bersama selama 20 tahun. “Whaat…?! Twenty years already…?!”
Kehidupan pernikahan kami memang penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Kami tidak pernah mengalami ‘turbulence’ atau ‘storm’dalam kehidupan pernikahan kami. Sesekali saya masih melirik wanita-wanita cantik yang bersliweran di mall meski tangan saya tetap menggandeng istri saya (supaya tidak lepas berbelanja). Tapi…that’s all. Tuhan melindungi kami dari masalah-masalah besar dalam perkawinan.
4. Buku Hitam Ujian Nasional. Ini juga buku keroyokan dengan lebih banyak orang aktivis pendidikan yang anti pada ujian nasional. Buku ini diterbitkan oleh Resist Book, Yogyakarta pada tahun 2012 dan tebalnya 387 halaman. Buku ini adalah ungkapan penentangan kami, para aktivis pendidikan seperti Dr. Ahmad Muhlis (ITB), Iwan Pranoto PhD (ITB), Ir. Ahmad Rizali MSc (Pertamina Foundation), Dhitta Putti Saraswati, Heru Widiatmo PhD (Iowa University), Elin Driana PhD (Ohio University), Prof. Dr. H. Soedijarto MA, Prof. Dr. Daniel Rosyid PhD (ITS), dll pada Ujian Nasional. Tulisan-tulisan di buku ini sangat pedas dan tanpa tedeng aling-aling dalam mengecam pelaksanaan Ujian Nasional.
Ada pembaca yang bilang bahwa buku ini tidak mudah dipahami oleh orang-orang awam, karena sebagian besar tulisan [hampir seluruhnya] menggunakan bahasa yang “tinggi”, dan tidak menggunakan bahasa koran yang mudah dipahami oleh masyarakat umum. Mungkin karena banyaknya istilah teknis di bidang evaluasi dan psikometri yang digunakan oleh para penulisnya.
5. Thanks God for A Very Happy Life One Man Can Get. Buku ini saya terbitkan pada ultah saya yang ke 56 di akhir tahun 2013. Tebalnya306 halaman. Desain dan kompugrafinya oleh Abuzuhri Zamamy dan masih dicetak di PT Revka Petra Media.
Judul ini saya gunakan sebagai ungkapan rasa terima kasih saya pada Tuhan yang telah memberi saya kehidupan yang begitu indah dan berbahagia. Tidak banyak teman saya yang memiliki kebebasan finansial seperti saya di masa pensiunnya. Saya tidak perlu mengubah gaya hidup seperti seba¬gian besar teman-teman yang memasuki masa pensiunnya. Ketika mereka memasuki masa pensiun mereka harus membatasi gaya hidup mereka karena menurunnya penghasilan mereka. Sedangkan saya jus¬tru sedang menikmati kebebasan finansial. Ini adalah berkah dan ka-runia yg dilimpahkan oleh Allah pada saya. Pada tahun ini saya bahkan melakukan perjalanan ke luar negeri sebanyak 5 (lima) kali, yaitu ke Thailand, Korea Selatan, Guilin China, Singapore, dan Turki. Pretty good for a retired person.
6. Muslim Kok Nyebelin. Apa Kata Nabi? Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Bunyan (PT Bentang Pustaka) pada Desember 2013. Tebalnya 247 halaman. Buku ini terbit berkat bantuan Mas Iqbal Dawami yang waktu itu masih bekerja sebagai editor di Bentang Pustaka. Dia menghubungi saya dan bilang bahwa ia tertarik untuk membukukan tulisan-tulisan saya di web tentang agama yang menurutnya punya warna tersendiri. Sebetulnya waktu itu buku ini saya ajukan dengan judul “Cium Tangan ala Rasul” tapi oleh penerbitnya dianggap judulnya kurang ‘nendang’ sehingga diubah menjadi “Muslim Kok Nyebelin. Apa Kata Nabi?” yang lebih ‘provokatif’.
Buku ini adalah semacam perayaan akan keinginan saya untuk terus belajar dan mengenal Islam dengan segala keindahan dan kompleksitasnya. Buku ini saya persembahkan bagi siapa saja yang suka bertanya dan berpikir kritis tentang agama Islam.
Apa komentar pembaca buku saya ini?
“Judul buku ini provokatif. “Muslim Kok Nyebelin?”. Nyebelin karena tidak mau membaca, tidak mau menulis, tidak belajar dan akhirnya tidak berpikir. Pesan utama buku ini adalah janganlah takut untuk menggunakan akal dalam menggumuli iman. Sebab melalui akal maka kita akan menemukan kebenaran iman yang membuat kita berserah. Anda boleh setuju atau tidak setuju terhadap apa yang diungkapkan oleh Satria Dharma. Tetapi gunakan akal untuk menyampaikan pendapat Anda.”(Handoko Widagdo)
“Membaca buku Pak Satria seperti biasa, ada saat yang membuat saya tertawa terbahak-bahak, sekedar tersenyum, ikutan emosi marah gregetan dan ada saat air mata saya keluar. Saya suka gaya tulisan pak Satria, biasanya sih enteng enteng saja, tapi yang ini walau ditulis dengan gaya yang ngepop, namun sungguhan butuh pemikiran yang mendalam dan hati yang terbuka luas” (Ameliasari Kesuma)
7. The Rise of Literacy. Buku ini saya terbitkan pada ulang tahun saya pada akhir 2014. Editornya adalah Fafi Inayatillah dan penata letak serta desain sampulnya Mas Alek Subairi. Tebalnya 437 halaman. Saya banyak menulis tentang literasi di sini. Tahun 2014 ini kegiatan saya memang jauh lebih fokus pada mempromosikan budaya baca bangsa melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Kegiatan di IGI hampir sepenuhnya telah ditangani Mas Ihsan sebagai Sekjennya sehingga saya bisa lebih fokus pada urusan literasi yang telah menjadi obsesi saya sejak tahun 1990 ketika masih mengajar di sekolah internasional . Oleh sebab itu buku tahunan saya kali ini saya beri judul : The Rise of Literacy.
Ada beberapa tahapan penting yg saya lalui pada tahun ini, yaitu :
1. Ditetapkannya Surabaya sebagai Kota Literasi yg kemudian ditindaklanjuti dengan turunnya Surat Edaran dari Kadisdik Surabaya pada semua kepala sekolah di Surabaya utk menyukseskan program literasi ini
2. Semakin populernya program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) ini sehingga undangan utk mempresentasikan gerakan ini berdatangan dari berbagai daerah. Saya bahkan sempat bersafari literasi di 5 kota/kabupaten di Propinsi Aceh dengan dihadiri oleh beberapa Kadisdik.
3. Terlibatnya perguruan tinggi utk turut serta menggerakkan program literasi ini. Ada dua PTN yg sudah menyatakan kesediaannya, yaitu UNAIR dan UNESA dalam program Mahasiswa Penggerak Literasi (MPL). Ini jelas sebuah lompatan yg berarti bagi tumbuhnya budaya literasi bagi bangsa. Saat ini ke dua perti ini bahkan sudah menjalankan program KKN Literasi ke sekolah-sekolah.
8. Iqra: Misteri di Balik Perintah Membaca 14 Abad yang Lalu. Buku ini adalah kompilasi dari tulisan-tulisan saya tentang Literasi dan hubungannya dengan ayat Iqra (Al-Alaq 1-5). Editornya masih tetap yaitu Fafi Inayatillah sedangkan Penata Letak dan Desain Sampulnya digarap oleh Ahmad S. Buku ini saya terbitkan pada Maret 2015 dan tebal bukunya 403 halaman dengan cover bertuliskan Iqra berwarna hijau tua sehingga tampak sebagai buku yang serius. Buku ini merupakan kumpulan artikel yang saya tulis tentang upaya untuk menumbuhkan Budaya Membaca Bangsa dan bagaimana saya mempromosikannya di berbagai sekolah dan kota di tanah air selama bertahun-tahun. Buku ini berisi gagasan-gagasan tentang bagaimana menumbuhkan budaya membaca siswa melalui Gerakan Literasi Sekolah yang sekarang telah menjadi program nasional melalui Kemendikbud tersebut.
Berikut ini komentar pembaca buku saya.
“Indonesia adalah negara yang dibangun oleh para tokoh yang dibesarkan dalam budaya baca. Seperti kita tahu para pendiri bangsa dibesarkan di sekolah-sekolah Belanda yang memiliki program secara terstruktur supaya siswanya membaca. Indonesia juga adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam –yang perintah pertama dalam kitabnya adalah Iqra: Membaca! Lalu mengapa tiba-tiba Indonesia menjadi bangsa yang tidak membaca? Mengapa kita selalu di level bawah penilaian kemampuan literasi secara internasional? Mengapa Taufik Ismail sampai menulis artikel “Tragedi Nol Buku” pada tahun 2005? Adakah yang salah?
Mengapa budaya literasi di Indonesia rendah? Setidaknya saya menemukan tiga hal yang disampaikan oleh Satria Dharma dalam buku ini. Dalam artikelnya berjudul “Tragedi Nol Buku: Tragedi Dunia Pendidikan Indonesia” (hal. 36-45) dan dibagian lain buku ini, Satria Dharma menyebutkan setidaknya tiga hal yang menjadi penyebab, yaitu: (1) pemimpin yang lebih peduli kepada pembangunan fisik dan tidak peduli pada literasi, (2) kurikulum pembelajaran bahasa yang dikuasai oleh para linguist, dan (3) orang Islam yang tidak mengamalkan perintah membaca. (Handoko Widagdo)
9. A Full Year of Literacy. Buku ini terbit pada akhir tahun 2015 dan tebalnya 288 halaman. Editor, penata letak dan desain sampulnya masih sama dengan tahun sebelumnya, yaitu Fafi Inayatillah dan Alek Subairi. Pada tahun ini akhirnya Mendikbud mencanangkan gagasan saya Gerakan Literasi Sekolah sebagai sebuah program nasional. Ini tentu sangat luar biasa bagi saya yang telah berkeliling kemana-mana untuk mempromosikannya. Sebenarnya gagasan ini dulunya bernama Gerakan Indonesia Membaca (GIM) dan telah pernah kami diskusikan bersama, yaitu Ahmad Rizali, Sudirman Said (mantan Mentri ESDM), Anies Baswedan (waktu itu masih jadi Rektor Paramadina) dan kami sepakat untuk menjalankannya. Tapi kemudian Anies Baswedan lebih tertarik untuk menjalankan program Indonesia Mengajar (IM) sehingga saya harus keliling sendiri untuk menjalankan program GLS ini. Ketika Anies Baswedan menjadi Mendikbud saya datang lagi untuk mengajukan program ini dan disetujuinya. Untuk itu beliau mengeluarkan sebuah Peraturan Menteri berupa Permen 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti melalui pembiasaan membaca buku non-pelajaran 15 menit setiap hari sebelum pelajaran dimulai di seluruh Indonesia. Mendikbud ingin menjadikan membaca sebagai sebuah budaya bangsa melalui peraturan ini. Ini adalah sebuah sejarah baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Bagi saya ini adalah sejarah kebangkitan mutu pendidikan Indonesia.
Pengaruh dari kebijakan Mendikbud tersebut tentu saja mengakibatkan semua jajaran di bawahnya harus merumuskan bagaimana agar kebijakan tersebut menjadi tindakan di lapangan. Semua direktorat dan badan di Kemendikbud harus merumuskan kegiatannya dengan kebijakan gerakan literasi ini dan kemudian juga mensinergikannya dalam sebuah koordinasi yang tersusun rapih. Berbagai kegiatan bimbingan teknis atau pelatihan yang diselenggarakan oleh para direktorat di Kemendikbud berupaya untuk memasukkan gerakan literasi ini sebagai bagiannya. Mereka kemudian memasukkan saya sebagai nara sumber utama dalam gerakan literasi ini. Dan inilah yang menjadi kesibukan saya pada tahun ini, mengisi acara-acara presentasi tentang Gerakan Literasi Nasional di berbagai kota mengikuti acara bimtek dan kegiatan direktorat di Kemendikbud. Selain itu saya juga diminta untuk terlibat merumuskan Panduan Umum Program Literasi Sekolah Tingkat Dasar dan Menengah di Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud.
10. The Spring Time of Literacy. Buku ini terbit akhir 2016 dan tebalnya 299 halaman. Editor, penata letak dan desain sampulnya masih sama dengan tahun sebelumnya, yaitu Fafi Inayatillah dan Alek Subairi.
Judul ini saya gunakan karena tahun 2016 ini bak musim semi bagi program literasi di Indonesia. Sejak dicanangkannya Gerakan Literasi Sekolah sebagai program nasional oleh Kemendikbud saya mendapatkan banyak permintaan untuk mengisi presentasi dan seminar tentang literasi di mana-mana. Permintaan untuk mengisi seminar, presentasi, bedah buku, diskusi, deklarasi, dll terus berdatangan dan membuat saya benar-benar sibuk. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Sunan Ampel Surabaya bahkan sudah menjadikan program literasi sebagai program KKN tematik mereka. Sebagian dari kesibukan saya tersebut bisa dibaca di buku ini tapi tidak semua kegiatan literasi saya sempat saya tulis.
Saya juga diundang oleh beberapa kota dan kabupaten yang mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Literasi. Ini berarti program gerakan Literasi Sekolah bisa benar-benar diharapkan dijalankan secara massif di semua sekolah di kabupaten tersebut. Pada waktu Deklarasi DKI sebagai Propinsi Literasi sebanyak 400 kepala sekolah, guru dan siswa di lingkungan pendidikan DKI Jakarta hadir di Gedung Graha Utama Kemdikbud Gedung A lantai 3 Senayan pada hari Rabu, 27 Januari 2016 untuk menyaksikan pendeklarasiannya. Baru-baru ini saya mendapat laporan bahwa dalam setahun program ini berjalan siswa DKI Jakarta telah membaca lebih dari 2.000.000 (dua juta) buku dalam program GLS ini. Bukankah itu luar biasa…?! J
Tahun ini cukup mengejutkan karena Anies Baswesdan digantikan oleh Pak Muhajir sebagai Mendikbud. Tapi ternyata program GLS tetap berjalan. Syukurlah…!
Saya sendiri sudah tidak lagi menjadi Ketua Umum IGI dan digantikan oleh Muhammad Ramli Rahim yang jauh lebih trengginas, aktif dan kreatif daripada saya. Di bawah kepemimpinannya saya melihat semangat yang menggebu-gebu dari teman IGI yang terus menggelorakan literasi sebagai program utama yang mereka tawarkan ke kota dan kabupaten masing-masing. Para guru IGI-lah yang menjadi ujung tombak untuk mempromosikan literasi di daerah masing-masing. IGI sekarang berada di tangan guru-guru muda yang luar biasa aktif, kreatif, dan dedikatifnya. IGI benar-benar melesat kencang melebihi ekspektasi saya sehingga saya merasa bahwa Tuhan memang telah mengatur semuanya dengan sangat baik. Saat ini IGI telah eksis di 30 propinsi, 379 kabupaten/kota. Kalau anggotanya sudah tersebar di 34 propinsi dan 452 kabupaten/kota. Ini tentu sangat luar biasa mengingat bahwa IGI tidak punya dana dan juga tidak memungut iuran bulanan pada anggotanya. Banyak yang heran dan tidak percaya bahwa ada sebuah organisasi yang bisa berkembang begitu pesat dengan kegiatan yang begitu padat tanpa memiliki dana dan juga tidak memungut iuran pada anggotanya. Tidak mungkin, kata mereka. Sambil bergurau saya bilang bahwa pekerjaan kami adalah membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Nothing is impossible.
Satu hal yang mungkin tidak penting tapi cukup menyenangkan bagi saya adalah penghargaan yang diberikan oleh Kota Surabaya pada upacara HUT Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 2016. Pada upacara ini saya didaulat untuk mendapat Piagam Penghargaan sebagai Warga Surabaya Berprestasi 2016 di Taman Surya Surabaya dari Walikota Surabaya, Dr. Ir. Tri Rismaharini, atas Dedikasi, Loyalitas, dan Inisiasi dalam Pengembangan Budaya Literasi di Kota Surabaya.
11. Book Reviews: Cara Menikmati Buku dan Mengikat Ilmu. Ini buku terbaru saya yang akan segera terbit.
Buku ini adalah kumpulan dari resensi yang saya tulis pada beberapa buku yang saya baca. Buku-buku itu begitu memikat sehingga saya tidak tahan untuk tidak menuliskan kesan saya atas buku-buku tersebut. Jika kita menemukan sebuah buku yang bukan hanya mengesankan kita tapi sekaligus mencerahkan, menghibur, mencerdaskan, atau mungkin membuat kita menggigil karena tercekam atau menangis karena terharu maka kita sungguh beruntung. Kita telah meminjam kearifan, kecerdasan, pengalaman, pengamatan, perasaan, dan waktu dari si penulis. Sudah selayaknya jika kita menghargai karya penulis yang kita baca dengan menuliskan kesan, pandangan, dan perasaan yang kita peroleh darinya. Apa yang indah kita rasakan sudah selayaknya untuk kita sebarluaskan pada orang-orang yang tidak berkesempatan untuk membacanya. Saya berharap pembaca resensi saya ini akan terpikat dan berupaya untuk membaca sendiri buku aslinya
Buku ini akan diterbitkan bersamaan dengan buku para guru lain yang ikut dalam pelatihan Media Guru. Saya dengar akan ada lebih dari 100 buku dari para guru yang akan diterbitkan pada tanggal 2 Mei 2017 ini. It’s amazing…! Saya belum tahu berapa jumlah halamannya karena masih dikerjakan tata letaknya. Tapi saya yakin tebalnya bisa mencapai 200 halaman lebih.
Dengan sebelas buku tersebut kalau dihitung-hitung saya mungkin sudah menulis lebih dari 2.500 halaman buku selama ini. Quite a lotya? Meski demikian saya tetap tidak akan termasuk dalam golongan ‘penulis profesional’ karena saya memang hanya menulis utk kesenangan dan buku-buku tersebut tidak diterbitkan oleh penerbit utama utk dijual kepada umum. Buku-buku tersebut sebagian besar saya terbitkan sendiri secara terbatas dan bukunya saya bagi-bagikan pada teman pada saat saya ulang tahun. Jadi Anda tidak akan menemukan buku tersebut di toko buku mana pun (kecuali buku no 1, 4, dan 6).
Saya masih akan terus menulis karena ini adalah sebuah hobi bagi saya. Saya juga masih akan terus menerbitkan buku saya secara indie dan membagi-bagikannya pada teman karena itu adalah kesenangan bagi saya. Sharing is so addictive. 🙂
Surabaya, 22 Maret 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com