Seorang teman setengah bergurau bertanya pada saya, “Kok sampeyan sekarang sibuk membela Anies di medsos? Bukannya kemarin-kemarin sampeyan menjadi pembelanya Ahok? Apa sampeyan sudah berpindah hati…?!”
Saya jadi pingin ketawa mendengar pertanyaan sekaligus gugatan ini. Tapi saya kemudian sadar bahwa orang berhak berpersepsi demikian karena ketidaktahuan mereka. Mereka ini hanya melihat dari perspektif pilgub dan kubu-kubuan. Ada yang kubu burung pipit versus kubu cicak, ada yang kubu Islam versus Kristen, ada yang kubu nasionalis versus imperialis, kubu 9 Pendekar Sakti versus 9 Naga, dan macam-macamlah…
Jadi saya jawab, “Sakjane ngono saya ini tidak membela siapa-siapa tapi membela pendapat saya sendiri. Kebetulan pendapat saya ini berseberangan dengan pendapat orang-orang tertentu sehingga saya dianggap masuk dalam kubu orang yang pendapatnya berseberangan dengan saya tersebut.”
Seperti yang pernah saya tulis, untuk urusan gubernur DKI saya sepakat dan mendukung SIAPA PUN di antara 3 paslon yang maju. Bagi saya ke tiga paslon tersebut adalah orang-orang yang luar biasa semua dan semua pastilah akan bisa menjadi gubernur yang hebat juga. Perkara siapa yang kita inginkan sosok dan gayanya dalam memimpin maka itu urusan orang berkatepe DKI. Sampeyan yang tinggal di dan berkatepe Depok sebaiknya tidak usah terlalu heboh apalagi sampai mau ikut-ikutan nyoblos di Pulau Seribu.
Tapi tentu saja pendapat saya tersebut ditolak oleh seorangt teman dan saudara yang tinggal di Balikpapan. “Oooh…! Tidak bisa…! Urusan Gubernur DKI adalah urusan umat Islam yang peduli dengan perjuangan agamanya. Sesungguhnya semua umat Islam di dunia itu bersaudara….., Sungguh kafirlah orang yang mengatakan tuhan itu tiga…. Jika engkau tidak cemburu dengan urusan agama maka bungkuslah dirimu dengan kain kafan…, Sungguh telah munafik orang yang makan kue di kantin tiga biji tapi ngakunya cuma satu, dst….dst….!” Maka berdebatlah kami dengan serunya.
“Ahok itu menistakan Alquran”, kata mereka. “Tidak,” jawabku. “Sing ngemplang uang rakyat itulah sang penista sesungguhnya.” Lalu kami pun berdebat dengan asyiknya
“Ahok itu kafir,” kata mereka. “Dia itu umat yang beriman dari kalangan ahli kitab”, jawabku. Dan kami pun berdebat lagi dengan menghabiskan kuota internet yang tersisa.
“Ahok itu korupsi”, kata mereka. “Itu tuduhan semata”, jawabku, “…dan sepanjang tidak bisa dibuktikan maka itu menjadi fitnah”. Lalu kami menambah lagi kuota internet agar debat menjadi lebih meriah.
“Ahok itu mulutnya kotor, najis mugholadoh, penikmat Sari Roti.”kata mereka. “Gampang, tinggal cuci mulut pakai Equil dan sikat gigi… beres!”, jawabku. Dan saya pun ditabiskan sebagai ‘Pembela Ahok’.
Sungguh asyik perdebatan-perdebatan ini sesungguhnya….
Lalu datanglah saat ketika kontestan tinggal dua, Ahok dan Anies. Dan tiba-tiba saya melihat serangan terhadap Anies yang bertubi-tubi. Ini pasti sudah dirancang dengan teliti, pikir saya.
“Anies itu plin-plan dan oportunis”, kata mereka. “Tidak, Anies itu orang yang sangat idealis. Ia tidak akan menggadaikan dirinya sekedar untuk mendapatkan jabatan. What you see is not what he exactly or actually is.”jawab saya. Saya sudah kenal dia lumayan lama dan sering tampil di seminar bareng dengannya (sama Ahok malah belum pernah ketemu sekali pun). Saya juga pernah membantu dia di Kemendikbud kemarin waktu dia masih menjabat. Saya berani jamin bahwa Anies bukan tipe pengkhianat atau orang yang akan mencerai beraikan tenunan yang telah ia pintal.
Kok berani-beraninya saya menjamin lha wong katanya teman dekatnya saja sudah menunjukkan belang Anies? Ya karena saya selama ini belum pernah melihat belang Anies dan saya lebih percaya sama Anies ketimbang temannya yang saya tidak kenal dan juga sudah dibantah sama temannya Anies yang lain.
“Anies itu suka kolusi dan waktu menjabat membawa 60 orang temannya untuk menduduki jabatan staf ahli di Kemendikbud”, kata mereka.” Ndasmu peang”, kata saya dalam hati. “Jabatan staf ahli di Kemendikbud itu paling banyak hanya lima orang. Mbok ya kalau berbohong itu yang kira-kira gitu lho…!”
“Anies itu buruk kepemimpinannya sewaktu menjadi menteri di Depdikbud,” tuding mereka. “Halaah…! Lha wong menyebutkan Kemendikbud saja salah dan bilangnya Depdikbud kok mau ngaku-ngaku tahu kinerja Anies.” sahut saya ngakak.
“Anies itu tutur katanya halus, lembut dan senyumnya manis tapi ia sangat berbisa”, kata mereka. “Emangnya dia Black Mamba?”, jawab saya sambil membayangkan halusnya kulit ular Black Mamba yang sebenarnya berwarna coklat itu. Soal halus dan lembutnya tutur kata Anies saya bisa jamin. Saya bahkan berani bertaruh jika Anda bercakap-cakap dengannya sedangkan Anda membawa mentega di tangan Anda maka mentega tersebut akan mencair karena kesengsem oleh senyum dan kata-kata Anies yang memang memukau. Ahok itu juga punya karisma yang sama luar biasanya sehingga kalau ia bercakap-cakap atau bergurau dengan kita sambil tersenyum dan tertawa renyah maka kita akan lupa bahwa Jakarta masih banjir sesekali. Lha wong saya yang cuma lihat fotonya aja kesengsem kok sama Ahok.
“Jadi sebenarnya sampeyan itu pro Ahok atau Anies sih?” Mereka penasaran. “Siapa yang sampeyan inginkan agar menjadi gubernur DKI Jakarta?”
Kali ini saya agak jengkel karena kok mereka gak paham-paham. Saya sungguh berharap agar Ahok bisa jadi gubernur DKI lagi dan saya akan sangat bersyukur jika Anies bisa jadi gubernur DKI berikutnya (saya akan bisa bragging bahwa saya punya kenalan gubernur paling penting se Indonesia). Keduanya adalah pemimpin yang sama luar biasanya meski dengan gaya yang berbeda. Ibaratnya, Ahok itu Mike Tyson yang akan langsung merangsek lawannya sejak denting bel pertama dan akan terus mendaratkan pukulan-pukulan mematikan pada lawannya tanpa ampun. Ia akan tampil sangat bengis pada lawannya. Kalau perlu ia akan menggigit telinga lawan karena gemesnya. Sebaliknya, Anies adalah tipe Muhammad Ali yang akan menari-nari dan sting like a bee sehingga lawannya akan kehabisan stamina. Keduanya punya penggemar yang sama banyaknya. Saya mah suka keduanya.
Bagi saya siapa pun di antara keduanya sama saja. Lagipula pendapat saya ini tidak penting dan tidak ada pengaruhnya pada pemilihan mereka. Mereka yang berkatepe DKI-lah yang perlu Anda tanyai karena mereka yang akan memilih dan akan menerima konsekuensi dari pilihan mereka.
Tapi marilah saya beritahu sesuatu yang mungkin perlu Anda pahami. Siapa pun di antara mereka yang akan menjadi gubernur adalah ketentuan Tuhan yang HARUS kita terima. Silakan kita berdebat dan beradu pendapat sampai jontor tentang siapa yang lebih layak. Tapi jika kelak rakyat DKI Jakarta sudah menentukan pilihannya maka kita harus MENERIMA dengan ikhlas dan BERSYUKUR pada Tuhan yang telah menggerakkan mayoritas hati rakyat DKI untuk memilih gubernur terpilih nantinya. Tuhan sudah menetapkan ketentuanNya dan marilah kita, sebagai umat yang beriman – yang bertipe cicak atau pun burung pipit, untuk menerima ketentuan Tuhan tersebut dengan lapang dada. Tolong hentikan segala kabar bohong, fitnah, caci-maki, hujatan, kebencian, boikot, tipu-tipu, pada siapa pun yang terpilih dan mari kita DUKUNG siapa pun gubernur yang akan terpilih nanti. Itu kalau Anda percaya bahwa Tuhan pada akhirnya akan memberikan yang terbaik bagi kita semua di Indonesia ini.
Bagaimana…?!
Surabaya, 20 Pebruari 2017
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com