Alhamdulillah saya dan istri telah tiba dengan selamat di Surabaya semalam setelah melakukan Safari Literasi di Banda Aceh. Meski baru tiba pukul 12 tengah malam tapi pagi ini saya bangun dengan perasaan segar dan sangat bersemangat untuk bercerita tentang apa yang telah saya dapatkan dalam safari literasi saya kali ini.
Sekitar dua bulan yang lalu saya mendapat undangan untuk melakukan promosi ttg literasi di FKIP Unsyiah. Adalah Dr. Wildan MPd yang menjabat sebagai PD3 FKIP Unsyiah yang mengundang saya. Dosen tampan dan penuh semangat ini mengenal saya dari tulisan-tulisan saya di milis AJPBSI (Asosiasi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) yang diasuh oleh Mbak Pangesti.
Beliau lalu berupaya keras untuk dapat mengundang saya hadir dalam sebuah sesi Kuliah Umum Literasi di kampusnya yang indah. Saya sungguh tidak menyana bahwa tulisan saya di milis tersebut menarik perhatian seorang PD 3 FKIP di ujung paling barat Indonesia. Milis AJPBSI ini begitu sepi sehingga seringkali saya bertanya dalam hati apakah ada orang yang membaca tulisan-tulisan dan komentar saya di milis ini. Am I alone in this world…?! 🙂 Alhamdulillah I’m not alone. Undangan ini adalah bukti bahwa posting-posting saya tidak hilang lenyap tanpa kesan begitu saja meski di milis yang paling sepi sekali pun. Syukurlah kalau begitu…!
Aceh sendiri adalah daya tarik yang besar bagi saya. Saya sudah lama sekali ingin berbicara pada para pejabat, akademisi, guru, dan masyarakat di Aceh tentang pentingnya literasi dan apa arti dan perannya dalam pengembangan agama Islam.
Bukankah Aceh adalah Serambi Mekkah (saya kemarin bahkan menginap di Hotel Mekkah…!)?! Bukankah masyarakat Aceh ingin menegakkan syari’at Islam…?! Selama ini saya melihat dengan sedih betapa berita-berita ttg ajaran-ajaran Islam yang diterapkan di Aceh lebih banyak pada hukum-hukum yang bersifat ancaman bagi masyarakat. Mengapa Islam diidentikkan dengan hukum cambuk, aturan berbusana dan pergaulan yang ketat, polisi susila, dlsb? Tidakkah kita sadar bahwa perbedaan besar antara ajaran agama Islam dengan agama-agama sebelumnya adalah pada besarnya dimensi ilmu pengetahuan dan sains yang terkandung dalam Al-Qur’an?
Islam itu ajaran agama yang sangatpro-learning dan pro-knowledge dan mendorong umatnya untuk berpikir…berpikir…dan berpikir, belajar…belajar…dan belajar. Itulah sebabnya Allah justru menurunkan wahyu pertamanya dengan perintah ‘Iqra’ (membaca) sebagai cara bagi Sang Pencipta untuk mengajari manusia dari tidak tahu menjadi terdidik dan berilmu pengetahuan (‘allama al-insaana maa lam ya’lam).
Dan cara Tuhan yang Maha Pemurah dalam mengajari manusia dari apa yang tidak diketahuinya menjadi berilmu pengetahuan adalah dengan melalui perantaraan literasi membaca dan menulis (alladzii ‘allama bialqalami).
Pada presentasi saya yang bertajuk “Kuliah Umum Literasi” ini saya sampaikan beberapa misteri tentang turunnya wahyu pertama pada Nabi Muhammad ini untuk dipikirkan dan dianalisa. Semua detil kejadian pada peristiwa turunnya surat Al-Alaq tersebut punya makna dan perlambang. Misteri tersebut adalah :
- Mengapa Jibril harus mengulangi perintahnya kepada Nabi Muhammad untuk membaca sampai 3 X? Bukankah Nabi Muhammad sudah menjawab “Saya tidak bisa membaca.”…?! Bukankah Jibril juga sudah tahu bahwa Nabi Muhammad tidak bisa membaca…?! Mengapa ia harus mengulangi perintahnya sampai 3X (dan terus dijawab “Saya tidak bisa membaca.” Oleh Nabi Muhammad) sebelum akhirnya ia membacakan ayat yang diturunkan pertamakali tersebut…?!
- Apakah Jibril membawa teks ketika menyampaikan perintah tersebut? Semua orang yang saya tanyai hal ini menjawab ‘Tidak!’. Tentu saja mereka tidak punya bukti dan sekedar menduga-duga bahwa tidak mungkin Jibril membawa teks ketika menyampaikan wahyu tersebut. Tapi saya bawakan dua bukti bahwa Jibril tentulah membawa teks. Dua bukti yang saya bawa adalah bukti logis dan bukti tekstual.
- Mengapa Allah menurunkan ayat pertama tentang kewajiban membaca pada nabi yang tidak bisa membaca? Bukankah Nabi Muhammad adalah seorang yang ummi? Tapi mengapa justru Allah menurunkan perintahNya yang pertama untuk MEMBACA? Apa hikmah dibalik perintah ini?
- Mengapa justru perintah MEMBACA yang pertamakali disampaikan pada Nabi Muhammad (mengapa bukan perintah sholat, zakat, sedekah, dll)? Apa relevansi dan urgensi dari ‘membaca’ pada jaman di mana buku masih belum ada dan bahkan ayat-ayat Al-Qur’an masih ditulis di atas kulit kambing dan pelepah kurma?
Alhamdulillah presentasi saya yang diikuti oleh lebih dari 200-an peserta diikuti dengan sangat antusias. Saya diberi waktu sepenuhnya untuk menyampaikan materi saya karena saya adalah pembicara tunggal. Saya sungguh senang karena bisa dengan bebas menyampaikan semua hal yang ingin saya sampaikan. Sebelum ini saya terkadang hanya diberi waktu kurang dari 30 menit pada presentasi saya pada para kasek di Surabaya. Saya sampai bicara ‘kamisolsolen’karena harus menyampaikan materi dengan kecepatan 100km/jam.
Untunglah bahwa saya seorang pembalap professional. Hehehe…! Begitu presentasi saya selesai pertanyaan demi pertanyaan dan komentar saling berbagi mengalir tanpa henti dari para peserta yang juga dihadiri oleh para dosen FKIP Unsyiah. Yang lebih menyenangkan adalah bahwa yang menjadi moderator dari presentasi saya adalah Dr. Djufri. MSi, Dekan FKIP Unsyiah sendiri. Beliau sangat antusias dengan Gerakan Literasi Sekolah yang saya sampaikan dan bahkan berjanji untuk menindaklanjutinya.
Salah satu prosedur yang sering saya gunakan agar sesi “Tanya-Jawab” menjadi efektif dan efisien adalah dengan memberitahu para peserta bahwa saya tidak menerima keluh kesah atau pun curhat tentang sulitnya membangun budaya membaca yang terjadi pada lingkungan mereka. Fokuskan pikiran Anda untuk mencari solusinya. Nah, solusi itulah yang boleh kita diskusikan. I’m not here to listen to your problems and complaints. We’re here to find solutions of our literacy problems. Pemberitahuan awal ini biasanya berhasil mengubah atmosfir sesi “Tanya- Jawab” menjadi lebih konstruktif.
Salah satu hal yang sangat menggembirakan saya pada acara ini adalah hadirnya Pak Tabrani Yunis. (http://www.kompasiana.com/tabraniyunis). Beliau adalah kawan lama seorang pejuang pendidikan Aceh yang sangat gigih dan vokal. Kami sudah saling kenal sejak sebelum Tsunami Aceh dan masih terus berhubungan via email sampai kemarin kami bertemu muka kembali. Setelah kehilangan anak dan istrinya pada bencana Tsunami Aceh di tahun 2004 beliau kini sudah memiliki istri dan anak kembali. Sungguh gembira rasanya melihat senyuman di wajahnya. Saya sempat datang ke kantornya di mana beliau menggerakkan organisasi non-pemerintahnya Center for Community Development and Education (CCDE). Di kantornya yang kecil tersebut beliau menerbitkan beberapa majalah seperti “Potret”,“Baca”, dan “Anak Cerdas”. Mendengarkan perjuangannya langsung selama ini dalam literasi membuat saya merinding dan benar-benar salut. Apa yang saya lakukan rasanya tak ada artinya dibandingkan dengan perjuangan seorang Tabrani Yunis di Aceh.
Salah satu tanggapan yang membuat saya sangat gembira adalah dari seorang dosen FKIP, Pak Ridwan, yang kebetulan mendapat amanah proyek asesmen tentang kemampuan membaca anak Aceh. Beliau mengajak saya untuk berkeliling ke sembilan kota/kabupaten di Propinsi Aceh untuk mempromosikan literasi. Saya memang sampaikan pada forum bahwa saya sendiri tidak pernah tertarik pada studi atau pun penelitian tentang minat dan budaya baca siswa di mana pun. Kita semua sudah tahu bahwa kemampuan baca siswa kita rendah dan bahkan sangat rendah tanpa perlu melakukan penelitian apa pun. Kondisi ini juga bukan baru dan sudah berlangsung puluhan tahun. Apa yang kita butuhkan kini adalah TINDAKAN dan AKSI NYATA untuk menumbuhkan kebiasaan dan budaya baca anak-anak kita. Undangan untuk mempromosikan literasi ke Sembilan kota/kabupaten di Aceh adalah sebuah tantangan yang sangat menarik bagi saya.
Dengan semangat untuk bertindak nyata akhirnya setelah presentasi kami bertemu lagi dan berdiskusi di warung kopi Aceh untuk merumuskan tindak nyata yang akan kami lakukan bersama. Kebetulan pada acara presentasi tersebut hadir juga Pak Imran, Ketua IGI Wilayah Aceh, yang juga sangat bersemangat untuk menggerakkan budaya literasi di propinsi Aceh. Kami berempat (Pak Tab, Pak Wildan, Pak Imran, dan saya) akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah proyek percontohan gerakan literasi di Banda Aceh yang untuk sementara kami namakan “Gerakan Iqra’ Aceh”.
Program ini akan menjadi semacam Pilot Project bagi sebuah program peningkatan mutu pendidikan di sekolah-sekolah dengan menitikberatkan pada peningkatan mutu pembelajaran literasi siswa. Diharapkan agar sekolah-sekolah ini menjadikan membaca dan menulis sebagai kegiatan rutin yg dilakukan sehari-hari melalui program “GERAKAN SEKOLAH IQRA”. Gerakan ini bertujuan utk menjadikan siswa di sekolah ini memiliki kebiasaan dan kemampuan membaca dan menulis setara dengan siswa-siswa di negara maju.
Ada pun rincian dari program ini untuk smentara adalah sbb :
- Program ini akan dilaksanakan secara sinergis dan kolaboratif oleh : FKIP Unsyiah, IGI Aceh, dan CCDE dengan pembagian tugas masing-masing yg akan didiskusikan lebih lanjut. Konsorsium ini masih bisa bertambah jika ada pihak-pihak lain yang tertarik untuk ikut serta bergabung. Gerakan ini memerlukan sponsor perusahaan-perusahaan yang ada di Prop. Aceh (perlu sebuah pendekatan khusus untuk mengajak para sponsor ini)
- Konsorsium ini akan memilih dan menyeleksi beberapa sekolah utk dijadikan sebagai sekolah model bagi program sekolah literasi ini. Adapun jenjang dan jumlah sekolah yg akan dipilih utk program percontohan ini adalah sbb :
SD/MI sebanyak 10 s/d 15 sekolah
2. SMP/MTs sebanyak 5 s/d 8 sekolah
3. SMA/MA sebanyak 3 s/d 5 sekolah
Jumlah sekolah ini juga masih tentatif dan akan diputuskan berdasarkan kemampuan konsorsium dalam menjalankan program ini. Mungkin untuk Pilot Project ini kami tidak akan mengambil terlalu banyak sekolah agar efektifitas program bisa lebih dijaga. - Sementara ini pembagian tugasnya adalah sbb :
- FKIP Unsyiah akan bertanggung jawab atas pertimbangan akademik dari program ini. Sekolah-sekolah ini nantinya akan mendapatkan bantuan tenaga sukarelawan (volunteer) ‘Mahasiswa Penggerak Literasi’ yang akan bertugas membantu sekolah dalam menjalankan program-program yang ditetapkan bagi sekolah. Peran FKIP Unsyiah sangatlah penting dalam legitimasi program ini. Dengan hadirnya FKIP Unsyiah maka kepercayaan pemerintah dan masyarakat akan semakin besar. Lagipula, sumber daya FKIP Unsyiah sangat besar untuk menjamin keberhasilan proyek percontohan ini. Diharapkan agar program ini bisa menjadi bahan penelitian bagi FKIP Unsyiah sendiri yang nantinya diharapkan dapat menjadi sebuah model pengembangan mutu sekolah secara nasional.
- IGI Wilayah Aceh akan bertanggung jawab untuk mencari dan menyeleksi sekolah yang akan dijadikan sebagai sekolah model bagi program ‘Sekolah Iqra’ ini. Diharapkan agar sekolah-sekolah yang terpilih adalah sekolah-sekolah yang benar-benar antusias untuk mengikuti program ini. Untuk itu perlu adanya perangsang bagi sekolah-sekolah yang bersedia menjadi sekolah percontohan program Sekolah Iqra ini.
- CCDE akan bertanggungjawab dalam memasok bahan-bahan dan materi pembelajaran literasi bagi sekolah-sekolah ini.
Program literasi yang akan dilakukan di sekolah ini adalah : Program Membaca Rutin di Sekolah , Tantangan Membaca, One Child One Book (OCOB), Perpustakan Kelas atau Pojok Buku, Story Telling Competition, Lomba Menulis Cerpen/Puisi/Essay, dll yang mungkin kami anggap sesuai nantinya.
Saya sungguh bersemangat melihat betapa antusiasnya teman-teman di Aceh dalam menggerakkan literasi di daerahnya. Saya percaya bahwa mereak bukanlah tipe orang yang panas di depan dingin di belakang. Sejarah perjuangan rakyat Aceh selama ini telah membuktikan ketangguhan mereka untuk berjuang dalam jangka panjang. Justru saya yang harus berupaya untuk mengimbangi semangat mereka. Semoga saya mampu… Amin!
Surabaya, 25 September 2014
Salam
Satria Dharma
https://satriadharma.com
Semoga langkah kita terus berjalan dengan lancar pak.
Salam
Tabrani Yunis