“Kenapa di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya pasasir Indonesia tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Kenapa di bus Pekanbaru – Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok?
Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca
buku teks kuliahnya tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar – Banda Naira penumpang tidak membaca buku kumpulan puisi, tapi main domino?
Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama tapi asyik main sms”
Judul dan kutipan di atas adalah potongan gugatan Taufik Ismail, penyair hebat kita, yang dituangkannya dalam artikel berjudul ‘Tragedi Nol Buku, Tragedi Kita Bersama”. Tulisan ini dibuatnya pada 30 Mei 2005. Jadi sudah hampir 10 tahun usia tulisan ini tapi rasanya masih terus menonjok ulu hati kita (Kita…?! Elo aja kaleeee….).
Menurut Taufik Ismail ada beberapa teori untuk menjelaskan mengapa bangsa kita ‘luar biasa sedikit membaca’ (bolehkah saya mengubahnya lebih pendek menjadi ‘TIDAK MEMBACA’?) tapi beliau mengajukan tesisnya sendiri bahwa bangsa kita TIDAK MEMBACA karena TERLANTARNYA KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA (aslinya memang dalam huruf besar semua tapi kemudian saya tebalkan agar lebih mak dhess gitu lho…!). Menurut beliau keadaan ‘tidak membaca buku’ ini sudah berjalan hampir 60 tahun dan belum juga bisa disembuhkan, alias sudah kronis.
Sejak membaca gugatan Taufik Ismail ini saya langsung tersengat dan merasa bahwa saya harus melakukan sesuatu untuk mengubah situasi dan keadaan ini. Suddenly I got a mission. Sejak itu saya selalu berpikir bagaimana cara untuk mengubah situasi bencana ini.
Jika tesis Taufik Ismail benar maka sebenarnya kan mudah saja solusinya, yaitu adakan KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA seperti yang pernah kita lakukan pada jaman Belanda dulu. Kita sudah pernah mengalami masa keemasan sastra dan pendidikan di jaman Belanda karena siswa memang diwajibkan membaca buku sastra serta pelajaran membaca dan menulis sangat ditekankan. Jika ini adalah obatnya lantas mengapa tidak dicoba? Beri porsi pelajaran membaca dan menulis yang memadai agar kita terbebas dari tragedi tersebut.
Tapi justru itu anehnya…! Ternyata meski sudah disampaikan sejak tahun 2005 dan telah terus menerus disampaikan oleh Taufik Ismail dalam berbagai kesempatan ternyata it drops to deaf ears, tak ada yang mau mendengarnya.
Apakah Taufik Ismail ini bukan orang yang patut didengarkan sarannya? Bukan itu rasanya. Beliau adalah salah seorang Tokoh Sastrawan besar Indonesia yang bisa membuat pembesar dan pejabat yang tahu reputasi beliau terbungkuk-bungkuk untuk mendatangi dan menyalaminya. Seandainya pun beliau tiba-tiba datang ke kantor Kemendikbud di Senayan secara incognito dan ternyata ketahuan oleh Mendikbud maka tentulah Mendikbud akan datang untuk menyambut beliau. Taufik Ismail adalah tokoh yang disegani karena pandangan-pandangan , keahlian, dan kearifannya. Tapi toh usulannya jatuh ke telinga yang tidak mendengar dan hati yang tidak merasa (wow…! Saya ketularan nyastra nih!)
Karena saya sudah memutuskan untuk mengikuti jejak beliau untuk mengubah keadaan ‘bangsa yang tidak membaca’ ini maka saya harus memikirkan cara dan strategi agar bisa berhasil melakukan perubahan. Pertama-tama target agar ada KEWAJIBAN MEMBACA BUKU SASTRA DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA saya turunkan derajatnya menjadi KEWAJIBAN MEMBACA BUKU DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA. Jadi kata ‘sastra’nya saya coret dulu. Terus terang saja membaca buku sastra itu berat, Jek…! Itu untuk tingkatan individu yang sudah benar-benar doyan membaca. (satu-satunya Mentri yang mewajibkan dirinya untuk membaca satu buku sastra sebulan adalah mentri favorit saya, Dahlan Iskan). Sedangkan bangsa kita kan sudah hampir 60 tahun kagak sarapan buku sastra di rumah atau di sekolah. Bisa stroke siswa kita kalau langsung diwajibkan baca buku sastra seperti jaman Belanda dulu. Kita mundur sedikit dululah. Yang penting kita sudah mulai untuk melangkah.
Tapi tunggu dulu…! Apakah kalau diturunkan menjadi KEWAJIBAN MEMBACA BUKU DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA maka persoalan akan mudah? Tidak juga. Saya hampir ngos-ngosan untuk mengkampanyekan wajib baca buku di sekolah ini dan ternyata hanya satu atau dua sekolah yang mau menerimanya. Padahal menurut saya upaya saya untuk meyakinkan mereka soal pentingnya kewajiban baca buku tiap hari di sekolah sudah cukup hebat (perasaan elo aja kaleee…!). Jadi mungkin perlu diturunkan lagi sedikit menjadi ANJURAN MEMBACA BUKU DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA. Jadi derajatnya diturunkan dari ‘wajib’ menjadi ‘sunnah’. Pokoknya mau baca buku dululah…!
Selesai…?! Tidak juga. Banyak kepala sekolah dan guru yang samasekali tidak tergerak hatinya untuk membaca, apalagi mau menganjurkan siswanya untuk membaca. Membaca itu seperti sebuah kegiatan para alien yang sungguh tidak menarik. Untuk mereka ini anjurannya perlu diturunkan lagi sedikit menjadi PUNYA BUKU DI SEKOLAH-SEKOLAH KITA. Yang penting mereka mau menyediakan buku-buku bacaan di sekolah mereka. Minimal kalau ada buku di sekolah maka mungkin ada siswanya yang tertarik untuk meminjam dan membacanya. Kalau yang ini pun mereka menolaknya mungkin saya perlu mencari ‘domba-domba tersesat’ lainnya saja. I give up…! Lha belajar apa anak-anak kita jika buku bacaan saja tidak ada di sekolah mereka…?!
Meski demikian, pertanyaan ‘mengapa orang Indonesia tidak membaca’ tetap tinggal di benak saya dan minta jawaban. Saya tidak puas hanya dengan menerima jawaban dari Taufik Ismail. Saya perlu mencari sendiri jawabannya. Dan saya rasa sekarang saya sudah punya jawaban sendiri yang menurut saya lebih memuaskan (diri saya sendiri, tentunya).
Sebelum menuju ke jawabannya saya perlu menganalisis pertanyaannya dulu. Menurut saya kegagalan bangsa Indonesia menjadi bangsa pembaca adalah karena umat Islam Indonesia tidak membaca. Lho kok umat Islam yang ditembak…?! Ya tentulah. Bukankah bangsa Indonesia itu mayoritas umat Islam? Lha jika mayoritasnya membaca maka tentulah bangsa ini akan menjadi bangsa pembaca. Faktanya kan tidak. Umat Islam di Indonesia tidak membaca buku. Jadi telunjuk saya arahkan ke umat Islam. Mengapa umat Islam Indonesia tidak membaca? Apa yang salah dengan umat Islam Indonesia? Bukankah Islam adalah agama yang paling lekat dengan literasi? Bukankah ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca? Bukankah Nabi Muhamad adalah tokoh Gerakan Literasi Umat dan bahkan satu-satunya nabi yang tercatat dalam sejarah sebagai nabi yang peduli dengan kemampuan literasi umatnya? (Saya akan menulis tentang hal ini di kesempatan lain). Tapi mengapa kok justru umat Islam Indonesia tidak mengamalkannya sebagaimana umat-umat Islam di jaman dahulu sehingga mereka jaya?
Mengapa…?! Mengapa…?!
Saya tahu jawabannya tapi sebelum saya jelaskan mari saya beri pertanyaan lain dulu. Mari saya ajak melihat fenomena pemakaian jilbab pada wanita muslimah saat ini.
Saat ini jilbab benar-benar menjadi trend yang tidak kita jumpai sekitar sepuluh, apalagi dua puluh, tahun yang lalu. Dulu sangat jarang muslimah yang memakai jilbab, apalagi artis. Bahkan kalau mau mundur lebih ke belakang lagi maka jaman dahulu ibu-ibu dan nenek-nenek, apalagi nenek-nenek buyut kita tidak memakai jilbab. Paling banter mereka memakai kerudung. Tapi toh mereka tidak merasa melanggar kewajiban berhijab.
Pertanyaannya, :”Mengapa sekarang jilbab menjadi populer dan semakin banyak muslimah yang dulunya tidak memakai jilbab sekarang memakai jilbab?”. Kita bisa menjawab dengan mudah bahwa kesadaran para muslimah kita saat ini semakin meningkat dan mereka menganggap bahwa memakai jilbab adalah kewajiban sebagai seorang muslimah yang perlu dipatuhi. Hampir semua ulama, da’I, guru agama tak henti-hentinya mendorong para muslimah untuk berjilbab. Kita juga bisa dengan mudah menemukan da’i-da’i bersemangat yang akan mengancam para wanita muslimah yang tidak berjilbab dengan api neraka. Lama-lama ya gentarlah para wanita kalau tiap hari diancam api neraka macam gitu.
Pertanyaannya, apakah KEWAJIBAN BERJILBAB ini baru muncul baru-baru ini atau sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad sih? Kalau sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad lantas mengapa para ibu-ibu, nenek-nenek, dan nenek moyang kita tidak mengetahuinya dan tidak menggunakannya? Kok mereka tahunya cuma kerudung? Mengapa baru belakangan ini KEWAJIBAN BERJILBAB tiba-tiba menjadi krusial dan menjadi koor bersama umat Islam? Tentu saja anjuran memakai jilbab ini sudah ada sejak jaman Rasulullah dan sudah diketahui sejak 14 abad yang lalu. Lha wong ayat yang dipakai sebagai legitimasi pemakaian jilbab itu ya ayat yang sama sejak 14 abad yang lalu. Jadi ada sesuatu yang terjadi sehingga tiba-tiba perintah memakai jilbab ini menjadi gelombang yang membesar akhir-akhir ini.
Tahukah Anda apa yang terjadi…?!
Menurut saya trend penggunaan jilbab saat ini adalah contoh keberhasilan para ulama, da’I, kyai, guru-guru agama kita dalam MENAIKKAN posisi anjuran berjilbab menjadi KEWAJIBAN BERJILBAB. Dengan upaya terus menerus dan tiada henti mereka, para da’I, ulama, kyai, guru agama bersama-sama memasukkan ke benak kita bahwa memakai jilbab adalah WAJIB bagi para muslimah. Ayat yang digunakan sebagai dasar tentusaja bukan ayat baru tapi ayat yang sudah ada sejak 14 abad yang lalu. Kita hanya berhasil mendorongnya ke benak para muslimah menjadi sebuah perspektif baru. Jadi ini aturan lama yang diubah perspektifnya oleh para ulama kita… and it works!
Apa ayat yang digunakan untuk mewajibkan muslimah untuk berjilbab (atau tepatnya berhijab)? Berikut ini adalah ayat yang digunakan.
“Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka dan ….(QS. An-Nur : 31)
Ayat ke dua yang membahas tentang kewajiban menutup tubuh adalah ayat berikut :
”Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,”Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak di ganggu.” (QS Al-Ahzab:59)
Jadi sebenarnya hanya ada 2 (dua) ayat yang dipakai sebagai dasar untuk menetapkan jilbab sebagai kewajiban bagi para muslimah. Tapi karena gencarnya para ulama, da’I, kyai, guru agama kita dalam mendakwahkan kewajiban berjilbab ini maka kini kita melihat akhirnya para muslimah dengan sukarela memakai jilbab (meski tentu saja ada yang tidak dengan sukarela). Jadi ini adalah keberhasilan dalam memasukkan pemahaman baru ke dalam benak umat Islam bahwa memakai jilbab itu WAJIB. Ayatnya mah sudah ada 14 abad yang lalu. Yang baru adalah pemahamannya.
Mari kita kembali pada urusan MEMBACA.
(Tahukah Anda bahwa dalam Al-Qur’an, kata kerja “katab” (menulis) beserta kata bentukannya disebutkan 303 kali. kata “qaraa” (membaca) sebanyak 89 kali. Kata “qalam” (pena/alat tulis) 5 kali. Dengan kata lain, perintah membaca “iqra'” secara implisit mengandung pesan atau perintah untuk mengembangkan tradisi menulis sebagai sarana pengadaan bahan bacaan. Perbandingan kata “qaraa” dan “ kataba” 1-4 ( Abdul Mu’ti: 2003) Coba bandingkan dengan ayat tentang perintah berhijab)’.
Apakah menurut para ulama, kyai, da’I, para guru agama, MEMBACA itu bukan kewajiban…?!
Jika mereka SEPAKAT bahwa MEMBACA ITU JUGA KEWAJIBAN (sebagai mana mereka menjadikan jilbab itu sebagai kewajiban) lantas mengapa mereka tidak membuat MEMBACA itu menjadi sebuah hal yang begitu krusial sehingga mereka yang tidak melaksanakan PERINTAH MEMBACA atau KEWAJIBAN MEMBACA itu sama ‘berdosanya’ dengan muslimah yang tidak memakai jilbab? Apakah para ulama, kyai, da’I, dan guru-guru agama menganggap bahwa membaca itu BUKAN KEWAJIBAN dan BUKAN PERINTAH TUHAN yang layak diperlakukan dengan sama seriusnya seperti perintah memakai jilbab?
Itu jawaban dan sekaligus pertanyaannya…!
Jadi mengapa umat Islam di Indonesia tidak membaca adalah karena para ulama, kyai, da’I, dan guru-guru agama TIDAK menganggap bahwa membaca itu KEWAJIBAN dan PERINTAH TUHAN yang layak diperlakukan dengan sama seriusnya seperti perintah memakai jilbab…! Para ulama, kyai, da’I, dan guru-guru agama kita MUNGKIN menganggap bahwa perintah memakai jilbab itu jauh lebih krusial, lebih penting, lebih utama, lebih tinggi nilainya ketimbang perintah dan kewajiban membaca. Oleh sebab itu mereka memilih untuk lebih mendorong perintah berjilbab ketimbang mendorong perintah membaca untuk dilakukan oleh umat Islam. Maka sekarang ini kita bisa melihat bahwa para muslimah kita pada berjilbab tapi UMAT ISLAM TIDAK MEMBACA.
Anda punya pendapat lain…?!
Saya tunggu.
Surabaya, 18 April 2014
Satria Dharma
https://satriadharma.com